RadarRakyat.Info-SAYA lihat di televisi serah terima jabatan dari Plt Gubernur DKI Jakarta Soemarsono kepada Gubernur Ahok.
Kemudian
muncul Mendagri menyatakan bahwa Ahok tidak dinon-aktifkan sebagai gubernur,
karena ancaman hukuman adalah 4 tahun, yaitu terdakwa atas kejahatan Pasal 156
KUHP. Nah loh. Mendagri bisa salah baca. Agaknya dapat masukan dari lawyer yang
belum punya BAS (berita acara sumpah).
Jika tak
salah, dakwaan primer terdakwa Ahok adalah blasphemi Al Maidah 51, Pasal 156 a
KUHP. Itu, delik formil. Pelapisnya (dalam istilah JPU disebut dakwaan
alternatif), yaitu Pasal 156 adalah delik materil dengan ancaman hukuman 4
tahun penjara.
Dalam surat
dakwaan JPU merupakan dakwaan subsider. Ini yang diambil Mendagri Tjahyo Kumolo
sebagai pedoman 4 tahun tadi.
Kalau
ancaman hukuman 4 tahun penjara, maka Pasal 83 Ayat 1 UU Pemda, Ahok tak kena.
Artinya, jabatan gubernur Ahok tak perlu dicabut.
Menarik
argumen Tjahyo ini. Ancaman subsider bisa diambil sebagai faktor determinasi.
Ini baru di dunia hukum.
Pada surat
dakwaan JPU, Pasal 156 a yang jadi primernya. Ini delik formil. Artinya
perbuatan menjadi kejahatan tidak berangkat dari akibat. Tidak perlu motif.
Ancaman hukumannya 5 tahun.
Pertanyaannya,
ancaman hukuman dalam blasphemi Ahok: Pasal 156 atau Pasal 156 a?
Mendagri
mengambil yang 156. Ini preseden baru, karena yang dimaksud ancaman diambil
dari dakwaan subsider. Dengan itu Ahok lolos dari ancaman pemberhentian Pasal
83 Ayat 1 UU Pemda. Menurut saya tak benar. Yang jadi acuan adalah dakwaan
primer, bukan subsider.
Contoh soal.
Seorang melakukan pencurian. Ia masuk dengan merusak pintu, lalu kepergok
penghuni yang kemudian dibunuhnya, lalu ia lari dengan mencuri mobil korban.
Mana yang primer: 1. Perusakan pintu, 2. Pembunuhan, 3. Pencurian.
Ilmu Hukum
pidana menyatakan ancaman hukuman tertinggi menempati primer, yaitu pembunuhan.
Sedang pencurian dan perusakan pintu menempati subsidernya. Jika pembacaan
seperti ini dilakukan oleh Mendagri, mau tak mau Ahok harus diberhentikan.
Preseden
yang pasti terjadi pada kasus korupsi. Subsidernya senantiasa gratifikasi,
ancamannya 4 tahun. Bukan kejahatan berat, apalagi extra ordinary crime. Delik
korupsinya yang diancam 5 tahun ke atas tak dibaca.
Kata Prof
Mahfud MD resiko menabrak hukum seperti itu ditanggung oleh Presiden Jokowi, ia
bisa dilengserkan, ironisnya hanya karena salah baca UU. Agar tak melanggar
hukum, sarannya, Jokowi bisa menerbitkan Perppu untuk membypass UU Pemda. Mantaf
sarannya Prof. Nabrak habis.
Saya
kutipkan analisis hukum tata negara Hendra Nurtjahjo dari Ombudsman yang amat
bagus, sebagai berikut:
TANGGUNG
JAWAB KONSTITUSIONAL PEMBERHENTIAN GUBERNUR:
SUATU
CONDITIO SINE QUA
Persoalan
pemberhentian kepala daerah terkait dengan perspektif hukum tata negara, hukum
administrasi negara, dan hukum pidana. Perangkat hukum yang diacu berdasarkan
pada ketentuan konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini
sebagai konsekuensi kedudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara
yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat bukan machtstaat).
Pemberhentian
Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok (untuk selanjutnya disingkat BTP) sebagai
Kepala Daerah-- murni harus didasarkan pada perspektif hukum dan
tidak dalam
perspektif politik.
Inilah
konsekuensi dari pilihan Negara Hukum yang kita anut. Adanya intervensi politik
terhadap hukum akan mendegradasi kedudukan negara hukum (nomocracy) dan
berpotensi menyebabkan kerusuhan sosial (mobocracy) yang akan menuai perpecahan
bangsa dan negara.
Kontroversi
pemberhentian Gubernur DKI Jakarta yang dijabat oleh BTP ini menimbulkan
persoalan karena Presiden dan Menteri Dalam Negeri belum juga mengambil
tindakan hukum atas keadaan yang terjadi.
Masa cuti
kampanye yang memiliki konsekuensi status non aktif Kepala Daerah yang dijabat
oleh BTP telah berakhir pada tanggal 11 Pebruari 2017, konsekuensinya BTP sudah
dapat aktif kembali sebagai Gubernur pada tanggal 12 Pebruari 2017.
Namun
demikian, disisi lain, BTP telah menyandang status sebagai terdakwa dalam kasus
hukum pidana penodaan agama yang sedang berlangsung di Pengadilan Jakarta
Utara.
Ada tiga
ketentuan hukum terkait dalam kasus ini
yaitu, Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait Pemilihan Kepala Daerah. Berkenaan dengan
hal tersebut, timbul pertanyaan hukum :
(1) Apakah
Presiden dan Mendagri dapat memperpanjang masa cuti BTP sebagai Gubernur Non
Aktif,
(2) Apakah
Presiden dan Mendagri harus menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum atau usulan
dari DPRD untuk menonaktifkan BTP dari jabatan Gubernur DKI Jakarta,
(3) Apakah
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan boleh mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang dengan alasan subyektif tertentu.
(4) Apakah
langkah untuk tidak menonaktifkan Kepala Daerah tersebut merupakan tindakan
maladministrasi dalam perspektif Ombudsman,
(5) Adakah
implikasi hukum serius apabila Presiden tidak menonaktifkan Gubernur BTP dalam
konteks politik hukum ?
Lima hal
inilah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Penjelasan dan penafsiran hukum
atas ketentuan hukum positif yang berlaku menjadi pegangan dalam analisis hukum
tentang pemberhentian Gubernur ini.
Tentu saja
hal ini tidak dapat dilepaskan dari nuansa politik dan tafsir kepentingan
kekuasaan yang ada dibalik kontestasi hukum positif yang ada. Hal inilah yang
menuntut pentingnya analisi politik hukum dalam kasus ini.
Analisis
Norma Hukum dan Konstitusionalitas Pasal Pemberhentian Gubernur.
Setiap
pejabat publik termasuk Kepala Pemerintahan dalam hal ini Presiden memikul
tugas konstitusional untuk menjalankan hukum dan pemerintahan tanpa
pengecualian.
Dalam
konteks penegakan undang-undang pemilihan kepala daerah, dalam hal ini DPR,
Presiden, dan Menteri Dalam Negeri merupakan pihak yang mengemban kewajiban
konstitusional untuk menjalankan hukum dan undang-undang terkait kasus hukum jabatan
Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjalani kasus pidana dalam status sebagai
terdakwa kasus penistaan agama.
Status
terdakwa ini membawa konsekuensi hukum pemberhentian jabatan Gubernur DKI yang
disandang oleh BTP yang harus ditegakkan oleh Presiden sebagai Kepala
Pemerintahan.
Tanggung
jawab konstitusional pemberhentian gubernur ini merupakan suatu conditio sine
qua non bagi Presiden, yaitu suatu kondisi yang mengharuskan Presiden untuk
‘mau tidak mau’ melakukan pemberhentian BTP dari jabatan Gubernur sebagai
penegakan dari hukum yang berlaku.
Pasal 83
ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 menegaskan norma hukum bahwa “Kepala Daerah
dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD
karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana
terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan
lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal
ini pula dalam ayat tiga menunjukkan adanya kewajiban hukum dari Presiden untuk
memberhentikan Gubernur BTP sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta. Pasal ini
memiliki kekuatan konstitusional untuk dijalankan oleh seluruh lembaga dan
aparat hukum terkait sepanjang undang-undang tersebut masih berlaku sebagai
hukum positif dan tidak dicabut keberlakukannya oleh Mahkamah Konstitusi.
Artinya,
pasal 83 memiliki konstitusionalitas yang harus dijalankan oleh pengemban
amanah konstitusi yaitu Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara yuridis
beban konstitusional ada di tangan Presiden, namun demikian secara politis ini
berat bagi Jokowi karena BTP adalah rekan seafiliasi yang dicalonkan oleh
partainya, yaitu PDIP.
Namun
demikian, dalam konteks menjalankan tugas kenegaraan, Presiden sebagai
negarawan harus dapat mengenyampingkan
kepentingan politik guna menjalankan legal reasoning (argumentasi hukum) yang
nyata ada. Hal ini berkaitan dengan sumpah jabatan Presiden yang harus
senantiasa menjunjung tinggi hukum dengan tanpa kecuali.
Terkait
dengan persoalan (1) Apakah Presiden dan Mendagri dapat memperpanjang masa cuti
BTP sebagai Gubernur Non Aktif, hal ini tentunya tidak relevan untuk
dikontradiksikan.
Pertama,
ketentuan masa cuti kampanye telah berakhir sesuai dengan Peraturan KPU.
Kedua, tidak
ada lagi istilah perpanjangan masa cuti karena kampanye talah berakhir dan
status non aktif sudah expired.
Ketiga,
status non aktif dalam alasan perpanjangan cuti tidak dapat dibenarkan secara
hukum.
Keempat,
status non aktif dapat diberlakukan kembali, namun harus dengan legal basic
yang berbeda yaitu, pasal 83 (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemberhentian
Kepala Daerah dengan status terdakwa.
Sehingga,
hal ini harus dipahami, bila tuntutan masyarakat untuk non aktif bukan
didasarkan atas UU Pilkada, melainkan berdasarkan UU Pemda, dua rezim hukum
yang berbeda namun setara dalam keberlakukannya sebagai perangkat hukum.
Sehingga
dapat dipastikan bahwa Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 adalah norma hukum yang
masih berlaku konstitusionalitasnya dapat dijadikan sebagai dasar hukum
pemberhentian Gubernur sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta.
Persoalan ke
(2) Apakah Presiden dan Mendagri harus menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum
atau usulan dari DPRD untuk menonaktifkan BTP dari jabatan Gubernur DKI
Jakarta, Pasal 83 ayat 1 membebankan kewajiban untuk memberhentikan itu kepada
Presiden, bukan kepada Menteri Dalam Negeri.
Hal ini
adalah kewajiban konstitusional Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, dan
Menteri Dalam Negeri dan Sekretariat Negara hanya menjalankan proses administratif pemberhentian tersebut (administrative law
process).
Pemberhentian
ini sudah ditegaskan oleh UU Pemda adalah sebagai pemberhentian sementara,
bukan definitive (pemberhentian tetap).
Pemberhentian
tetap oleh Presiden sesuai ayat 4 Pasal 83 hanya dapat dilakukan setelah adanya
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Pemberhentian
sementara oleh Presiden ini tidak perlu menunggu usulan dari DPRD DKI Jakarta
sebagaimana secara langsung dapat dipahami dari Pasal 83 ayat 1.
Namun
demikian baik DPR maupun DPRD dapat mengingatkan secara moril (memberikan
aba-aba atau warning) kepada Presiden bahwa kewajiban konstitusional ini harus
dijalankan sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
Pemberhentian
ini juga tidak perlu menunggu pemberitahuan atau tuntutan dari Jaksa Agung atau
Jaksa Penuntut Umum karena beberapa hal.
Pertama,
pasal 83 tidak menyebut dan tidak mensyaratkan adanya ‘tuntutan jaksa penuntut
umum’ melainkan ‘kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5
tahun.’
Pasal
pemberhentian tersebut tidak menunjukkan perlunya keterlibatan jaksa penuntut
umum, melainkan besar ancaman yang tertera di dalam undang-undang terkait pasal
yang didakwakan.
Hal ini
adalah hal yang lazim dalam suatu kasus hukum lainnya, tidak ada yang pernah
didasarkan atas berapa lama hukuman yang dituntut oleh jaksa.
Malahan hal
ini menjadi janggal bila harus menunggu pembacaan tuntutan jaksa. Penafsiran
hukum yang mengharuskan menunggu berapakah tuntutan hukum dari jaksa adalah
penafsiran hukum yang mengada-ada dan menimbulkan pretensi hukum yang anomali.
Apakah Jaksa
akan menuntut dibawah 5 tahun atau diatas 5 tahun, itu adalah persoalan lain
yang sama sekali tidak menjadi syarat dari Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014.
Kedua, hal
ini juga tidak perlu dikaitkan dengan apakah ada penahanan atau operasi tangkap
tangan yang berhasil dilakukan oleh aparat hukum.
Mengapa ?
Karena hal ini tidak dipersyaratkan secara normatif di dalam pasal 83 UU No. 23
Tahun 2014. Baik penahanan maupun OTT (Operasi Tangkap Tangan) tidak menjadi
unsur norma hukum didalam pasal tentang pemberhentian kepala daerah tersebut.
Ketiga hal
ini bukanlah tuntutan pidana lain dari kasus pidana yang sedang dijalankan,
melainkan konskekuensi hukum administrasi terkait jabatan publik yang diemban
oleh BTP dalam status terdakwa.
Sehingga hal
ini merupakan hal yang lazim sebagaimana status terdakwa jabatan publik lainnya
yang pernah diberhentikan, seperti kasus Bupati Bogor, Gubernur Sumatera Utara,
Gubernur Banten, dan lain-lain. Sama sekali tidak terkait dengan perlunya
tuntutan jaksa penuntut umum, penahanan, atau OTT.
Persoalan ke
(3) Apakah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan boleh mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan subyektif tertentu,
berdasarkan pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Alasan yuridis berdasarkan ilmu
perundang-undangan bagi suatu Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang/Perppu untuk dikeluarkan adalah adanya kegentingan memaksa.
Dalam
constitutional law hal ini lazimnya disebut sebagai emergency law atau
undang-undang dalam keadaan darurat. Dalam konteks ini sama sekali tidak ada
keadaan yang dapat dinilai secara subyektif oleh Presiden sebagai sesuatu
keadaan yang darurat.
Pasal 83
ayat 1-5 sudah menyebutkan secara cristal
clear atau sangat jelas tentang unsur-unsur norma hukum pemberhentian seorang
kepala daerah tanpa harus ditafsirkan lagi apalagi dikaitkan dengan keadaan
darurat.
Namun jika
hal ini juga terpaksa dilakukan oleh Presiden, rakyat akan dengan cepat
menangkap gelagat politik untuk menyelamatkan BTP yang jelas-jelas dalam status
terdakwa. Maka ini jelas merupakan intervensi politik terhadap hukum, dan
merupakan rangsangan bagi terjadinya suatu social mob yang terus berkelanjutan.
Kasus hukum pidana harus terus berjalan apa adanya, sebagaimana proses hukum
administrasi negara juga harus berjalan apa adanya (law as it is).
Persoalan ke
(4) Apakah langkah untuk tidak menonaktifkan Kepala Daerah tersebut merupakan
tindakan maladministrasi dalam perspektif Ombudsman, hal ini dapat dilihat dari
perspektif UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik. Status terdakwa dari pejabat
publik tentu akan mempengaruhi situasi pelayanan publik yang dijalankan oleh
pejabat tersebut.
Hal ini
dapat berimplikasi pada banyak hal dan akan terkait dengan budaya hukum yang
akan ditegakkan oleh Gubernur sebagai pelayanan publik. Apapun bentuk perbuatan
melanggar hukum dan etika administrasi adalah tindak maladministras dalam
pandangan Ombudsman.
Ombudsman
juga memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengingatkan lembaga-lembaga
negara terkait untuk menegakkan hukum secara tegas dan non diskriminatif. Telah
adanya beberapa kepala daerah yang terkena ketentuan hukum pemberhentian
tersebut merupakan preseden yang harus dilaksanakan oleh lembaga negara terkait
dalam hal ini Presiden, dan Menteri Dalam Negeri.
Penafsiran
dan treatment yang berbeda dalam kasus ini adalah merupakan tindakan
diskriminasi hukum yang dalam perspektif Ombudsman adalah tindak
maladministrasi. Sehingga dalam kasus ini, dapat ditengarai bila Pasal 83 tidak
dilaksanakan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri, hal ini masuk dalam
lingkup maladministrasi atau penyimpangan hukum dan etika dalam menjalankan
administrasi negara.
Mengarah
Kepada Impeachment dan Social Mob ?
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, pelaksanaan pemberhentian Gubernur merupakan
kewajiban konstitusional Presiden untuk melaksanakan Pasal 83 UU No.23 Tahun
2014. Pasal tersebut adalah pasal dengan norma imperatif (Bukan Fakultatif,
karena tidak ada kata ‘dapat’ di dalam teks pasal tersebut).
Ketentuan
normatif itu mengharuskan Presiden untuk melaksanakannya (Suatu conditio sine
qua non) secara tegas tanpa menimbang kepentingan politik apapun. Negara hukum
mensyarakatkan penegakan hukum tidak boleh dilakukan atas intervensi
kepentingan politik tertentu.
Hal ini
merupakan hukum besi sejarah, politik harus tunduk pada hukum, walaupun hukum
itu sendiri merupakan hasil dari proses politik. Kepatuhan pada hukum adalah
sendi utama dalam bernegara. Pengabaian hukum akan merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara dan berimplikasi pada runtuhnya negara.
Persoalan ke
(5) Adakah implikasi hukum serius apabila Presiden tidak menonaktifkan Gubernur
BTP dalam konteks politik hukum?
Presiden
adalah Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan, Kedudukan ini adalah status
kelembagaan dan bukan personal. Lembaga kepresidenan dalam ketentuan konstitusi
memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan hukum dan pemerintahan.
Demikian
pula kedudukan semua warga negara adalah sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
Tentu seorang Presiden harus menjunjung tinggi hukum dan perundang-undangan
sebagaimana yang disebut dalam sumpah jabatannya.
Apabila
presiden tidak mematuhi hukum atau memberlakukan hukum secara berbeda
(discriminatory) dalam suatu kasus, maka hal ini merupakan pelanggaran sumpah
jabatan dan akan berimplikasi yuridis serius dalam perspektif hukum tata
negara.
Ringkasnya,
apabila Presiden Jokowi tidak menjalankan perintah undang-undang untuk
memberhentikan BTP sebagai Gubernur DKI, maka hanya ada dua kemungkinan yang
dapat terjadi, pertama, proses impeachment akan bergulir sebagai proses hukum
tata negara.
Langkah ini
bergantung dari konstelasi politik di DPR yang akan mengajukan usul
pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tentunya
langkah ini didahului permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum. Hal ini tentunya merupakan proses yang panjang dan berliku.
Kedua,
terbukanya alasan politik untuk terjadinya gerakan sosial yang menuntut
Presiden untuk mundur dari jabatan, atau softly movement agar Presiden menegakkan hukum secara adil
(fairness).
Penutup
Kedua
kemungkinan terabyte akan selalu memunculkan instabilitas politik dan memicu
munculnya kerusuhan sosial yang luas (massive social mob).
Kekuatan
aparat hukum yang berpihak pada kekuasaan politik akan menimbulkan korban nyawa
yang tidak sedikit di pihak grass root.
Situasi ini
rentan untuk munculnya intervensi kekuatan asing yang akan memiliki kepentingan
ideology and capital dalam menguasai dan mengkooptasi kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Hal inilah
yang harus kita cegah melalui proses hukum yang adil dan beradab. Namun
pertanyaan besarnya, mungkinkah (RMOL)
0 Response to "Dosa Ahok Pindah ke Presiden Jokowi"
Posting Komentar