RadarRakyat.Info-GUBERNUR DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berjaya mencitrakan dirinya bersih, tegas,dan keras terhadap koruptor serta sukses membangun Jakarta. Benarkah demikian? Lalu bagaimana dengan berbagai kasus korupsi yang melibatkan namanya. Ada skandal taman BMW di Menteng, Jakpus, kasus RS Sumber Waras, kasus mark up bus Trans Jakarta, kasus pembelian lahan milik Pemda DKI di Cengkareng Jakarta Barat, dan super skandal reklamasi pantai utara Jakarta? Tidakkah di sana ada jejak jelas dari gubernur yang dikenal bermulut jamban itu?
Mungkin sebagian warga Jakarta bisa mengabaikan rentetan
kasus hukum itu. Alasannya, hingga saat ini si penista Islam yang dianut
mayoritas penduduk Indonesia itu, tidak menjadi tersangka. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan hingga kini belum mengganjar status
tersangka kepadanya untuk skandal-skandal tersebut.
Untuk soal ini, ada penjelasannya. Sudah bukan rahasia lagi,
bahwa telah amat lama hukum di negeri ini dipermainkan. Mereka yang menggenggam
kekuasaan dan berkocek tebal bisa dengan mudah menyetir hukum. Hukum hanya
berlaku bagi orang kecil dan tak berdaya. Sebaliknya ketika bersinggungan dengan
pemilik kekuasaan dan atau kapital, hukum bagai membentur tembok tebal.
Terkulai, hancur berkeping-keping.
Jadi, kalau soal stempel tersangka buat Basuki, itu hanya
soal waktu saja. Percayalah, tidak ada kebohongan dan kebusukan yang abadi.
Kemarin dan saat ini, bisa saja para begal dan pencoleng hukum berakrobat ria.
Namun, saatnya pasti tiba, ketika kekuasaan dalam genggaman akan terlepas.
Selesai masa jabatan, pensiun, dicopot, atau mati. Saat itulah hukum dan
kebenaran akan tegak.
Di luar berbagai kasus hukum tadi, sejatinya ada perilaku
Ahok yang tidak kalah bermasalahnya. Dua tahun menjadi Gubernur DKI, dia telah
melakukan banyak pelanggaran dalam pengelolaan anggaran. Gubernur yang hobi
menggusur warganya dengan bengis itu berkali-kali menggunakan dana nonbujeter
atau off budget. Dana nonbujeter adalah instrumen keuangan yang diramu untuk
mencari celah prosedur dan mekanisme anggaran resmi. Dalam praktiknya, ia
digunakan untuk membiayai berbagai aktivitas, baik legal maupun ekstralegal
yang tidak diatur dalam APBN dan atau APBD.
Praktik ini menabrak prinsip-prinsip pengelolaan keuangan
negara sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 5
dan 6 UU No. 217/2003 mengamanatkan semua penerimaan yang menjadi hak dan
pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang
bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN dan APBD. Sedangkan penggunaannya
harus melalui persetujuan DPR dan DPRD seperti diatur dalam pasal 3 ayat (8).
Dana nonbujeter juga melanggar UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Satu hal yang pasti, dana nonbujeter tidak terjamah aturan pengelolaan keuangan.
Praktik dana nonbujeter berakibat pada pengelolaan keuangan yang buruk (bad
governance) pada institusi dan perusahaan milik negara. Tidak ada standar
kolektivitas dan penggunaan, tidak ada audit, dan tidak ada mekanisme
pertanggungjawaban. Singkat kata, dana off budget adalah dana illegal. Itulah
sebabnya dana nonbujeter telah belasan tahun dilarang karena berpotensi
korupsi.
Pada praktik dana nonbujeter, publik tidak dapat mengawasi
penerima dan penggunaannya. Pasalnya, dana tersebut tidak dapat diaudit oleh
negara dan dibahas di DPR/DPRD. Korupsi terjadi saat dana swasta tersebut
ternyata mengalir ke kantong pribadi Ahok dan para kroninya. Nah kultur
penyelengaraan keuangan negara yang buruk itulah yang banyak dilakukan Ahok.
Namun bukan Ahok kalau tidak pandai berkelit. Dia justru menjustfikasi
perbuatannya dengan mengatakan bisa membangun Jakarta tanpa menggunakan uang
APBD. Faktanya, dia banyak menerima setoran dana dari swasta untuk membangun
proyek-proyek publik. Lalu, agar tampak legal, dia menjadikan dalih diskresi
sebagai tameng.
Skandal reklamasi.
Rentetan fakta yang mencuat pada kasus reklamasi teluk
Jakarta membuktikan hal itu. Dengan dalih menggunakan hak diskresi, Ahok telah
membarter pembangunan fasilitas umum dengan kontribusi tambahan proyek
reklamasi di Teluk Jakarta. Muara dari semua tingkahnya itu adalah pengumpulan
dana untuk membiaya Pilkada DKI. Skandal ini mencuat berdasarkan pengakuan
Direktur Utama Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Kepada penyidik Komisi
Pemberantasan korupsi (KPK), dia menyatakan ada 13 proyek reklamasi milikPT
Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro, yang anggarannya akan
dijadikan pengurangan kontribusi tambahan proyek reklamasi. Pengurangan terjadi
kalau Agung Podomoro membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta. Hubungan akrab
Ahok dan Ariesman dengan Agung Podomoro Grupnya terekam jelas pada sejumlah
kasus lain. Padapenggusurankawasankumuh Kali Jodo, Jakarta Barat, misalnya,
Ariesman mengaku menggelontorkan dana Rp6 miliar. Ahok juga mengakui sering
memanfaatkan dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan itu untuk
membangun rusun, ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA), jalan layang non-tol
Pluit, gedung parkir Polda Metro Jaya, hingga reklamasi pantai utara Jakarta.
Begitu dekatnya Ahok-Airesman, hingga Ahok sering dijuluki
Gubernur Agung Podomoro. Hebatnya lagi, dia sama sekali tidak keberatan bahkan
bangga dengan julukan itu. Anehnya, begitu mengetahui Ariesman menyerahkan diri
ke KPK, Ahok langsung menyatakan selama ini Pemprov DKI tidak punya kerja sama
dengan PT Agung Podomoro dalam Proyek Reklamasi. Padahal, publik tahu bahwa PT
Muara Wisesa Samudra adalah anak usaha Agung Podomoro. Dan, Airesman adalah
Dirut Podomoro.
Beredarnya video Ahok, Airesman dan sejumlah petinggi
perusahaan pengembang saat menandatangani perjanjian terkait reklamasi, sekali
lagi jadi bukti adanya kongkalikong gubernur yang sok bersih ini dalam skandal
korupsi reklamasi. Di video beralamat
https://www.youtube.com/watch?v=XLZ1bArgJww itu bahkan ada ucapan yang
secara eksplisit mengaitkan kontribusi para pengembang tadi dengan 'sumbangan'
bagi si petahana pada Pilkada DKI.
Sedikitnya ada dua hal yang bisa dipersoalkan dari video
tersebut. Pertama, Ahok berdalih diskresi penggunaan uang pengembang itu digunakan
untuk pembangunan sejumlah fasilitas sosial (Fasos) dan fasilitas umum (Fasum)
di DKI. Faktanya justru menunjukkan ada kaitan langsung kontribusi pengembang
dengan biaya pemenangan Pilkada. Kedua, kalaupun dana kontribusi tambahan tadi
digunakan untuk membangun Fasos dan Fasum, bagaiman acara penghitungannya?
Misalnya, pembangunan Rusun oleh pengembang, bagaimana kita bisa tahu biaya
Rusun itu, katakanlah, Rp100 milliar? Dari mana angka itu muncul? Siapa yang
menjamin bahwa biaya yang dikeluarkan benar sebesar itu? Siapa pula yang
menjamin bahwa Rp100 miliar itu seluruhnya digunakan untuk membangun Rusun dan
tidak ada yang bocor serta mengalir ke kantong pihak-pihak tertentu?
Grand corruption
Skandal reklamasi dengan kasus-kasus derivatifnya termasuk
korupsi besar atau grand corruption. Saat jumpapers di gedung KPK, 1 April 2016
silam, Wakil Ketua KPK Laode Syarif menyatakan, tertangkapnya M.Sanusi dan
Ariesman mengindikasikan Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta sarat dengan
banyak kepentingan yang melibatkan legislatif dan eksekutif.
"Dan yang paling penting lagi, ini contoh yang sempurna
di mana korporasi mempengaruhi kebijaksanaan publik. Bisa dibayangkan kalau
semua kebijakan publik dibuat bukan atas dasar kepentingan rakyat,
melainkan hanya demi kepentingan
tertentu atau korporasi tertentu," ujar Laode.
Sebenarnya terlampau banyak jurus tipu-tipu Ahok untuk
pencitraan sebagai sosok yang bersih. Skandal reklamasi hanyalah salah satu
saja yang terungkap dengan telanjang ke hadapan publik. Kalau hingga kini
aparat hukum belum juga menyentuh dia, itu karena ada kekuasaan besar yang
terus membela dan melindunginya.
Tapi percayalah, pada saatnya kebenaran akan terungkap.
Orang Jawa bilang Gusti Allah mbotensare. (rmol)

0 Response to "Ahok Bersih???Percayalah Tidak ada Kebohongan dan Kebusukan yang Abadi,"
Posting Komentar