Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muharudin : Kekhususan Daerah Terancam, UU Pemilu Aan Digugat |
RadarRakyat.Info- Dalam sebuah sistem demokrasi, pemilihan umum memegang peranan sentral. Sulit untuk mempertanyakan kualitas demokrasi substansial tanpa terwujudnya demokrasi prosedural baik. Hal itu didasarkan pada dua hal.
Pertama, karena demokrasi prosedural akan menghasilkan para elit yang akan menjamin terwujudnya demokrasi subtansial. Kedua, karena hampir seluruh negara yang menerapkan demokrasi akan mustahil melihat demokrasi terwujud tanpa pemilu yang jujur dan demokratis.
Pada ajang pemilu rakyat diberikan kesempatan untuk menunjukkan kedaulatannya, yaitu melalui kesempatan untuk memilih pemimpin politiknya, baik yang duduk di legislatif di tingkat pusat dan daerah, serta kepala daerah atau pusat secara langsung.
Pemilu pada dasarnya adalah setumpuk hal ihwal teknis yang berusaha untuk mentransfer suara pemilih menjadi kursi. Mekanisme transfer suara menjadi kursi
tersebut memiliki berbagai variasi tergantung kepada kondisi sosial politik suatu negara. Pemilu umumnya digunakan untuk mencari pemimpin terbaik.
Terkait pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) dalam UU Pemilu Tahun 2017 memang perlu di bahas kembali. Hal itu untuk menghindari polemik yang mulai mencuat di kalangan rakyat Aceh.
UUPA harus mengikuti perkembangan dan dinamika yang ada. Sebab, selama ini UUPA menyadur UU Pemilu tahun 2003 dan UU Pemerintah Daerah tahun 2004 sementara kedua UU tersebut sudah diubah beberapa kali.
Sisi lainnya, Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan bahwa pilkada itu dinilai bukan kekhususan Aceh apalagi ditolaknya gugatan calon Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan TA Khalid usai pilkada kemarin.
Mereka merujuk UU No 44/ 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Kemudian juga Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Itu instansi vertkal sehingga KPU menilai bahwa pemilihan komisionernya itu dilakukan oleh KPU. Ini permasalahan yang terjadi sekarang.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muharuddin menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ( UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia mempersoalkan ketentuan Pasal 557 dan 571 huruf d UU Pemilu. Adapun pasal 557 UU Pemilu mengandung norma bahwa keberadaan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh, yakni Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) di tingkat Provinsi Aceh hingga Kabupaten/Kota.
Dalam aturan pasal itu, keberadaan lembaga-lembaga itu menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang Pemilu.
Sementara, Pasal 571 huruf d UU Pemilu mencabut ketentuan Pasal 57 dan 60 UUPA. Padahal, di dalamnya menurut dia mengatur soal KIP dan Panwaslih yang dalam pembentukannya melibatkan DPRA.
Menyoroti polemik pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) melalui Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan DPR RI harus dipahami betul, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berpotensi menimbulkan instabilitas politik yang dapat mengancam konstitusi RI.
Pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 Undang-Undang Pemerintahan Aceh terkait keanggotaan dan masa kerja Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh.
Selama ini KIP dan Panwaslih Aceh berstatus Adhoc, untuk menyesuaikan aturan yang ada dengan kondisi Aceh saat ini ada baiknya UUPA direvisi atau disegarkan kembali.
Jika melihat usia UUPA yang sudah mencapai 10 tahun, maka sudah selayaknya aturan hukum itu dievaluasi kembali. Sebab ada beberapa pasal yang harus mengikuti dinamika perkembangan ketatanegaraan, hukum, politik, dan ekonomi.
Selain itu, ada beberapa pertimbangan terhadap revisi UUPA, di antaranya karena ada beberapa pasal dalam UUPA yang sudah dibatalkan oleh MK.
Jadi pengertian “pencabutan” peraturan perundang-undangan berbeda dengan pengertian “perubahan” peraturan perundang-undangan. Sehingga pencabutan peraturan perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perubahan peraturan perundang-undangan.
Faktanya memang belum ada satupun pasal dalam UUPA yang dirubah oleh pemerintah pusat, melainkan Dicabut.
Idealnya perangkat pemerintahan memiliki satu suara dalam pembangunan bangsa. Eksploitasi perbedaan pandangan dan arogansi sektoral dapat menjadi bibit perpecahan. Dan bijaknya, para pejabat di Aceh lebih memahami dan banyak berdiskusi terkait persoalan itu.
Jangan pula sebentar-bentar menggugat. Sebab perubahan pada UU Pemilu tidak ditujukan untuk melemahkan kekhususan Aceh namun untuk menciptakan sistem demokrasi yang lebih baik, berkeadilan serta lebih sesuai dengan kondisi politik dan sosial saat ini. (rk)
0 Response to "Pencabutan Dua Pasal UUPA dalam UU Pemilu Tidak Merubah Kekhususan Aceh"
Posting Komentar