RadarRakyat.Info-Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Menyoroti polemik pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) melalui Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan DPR RI harus dipahami betul, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berpotensi menimbulkan instabilitas politik yang dapat mengancam konstruksi konstitusi RI.
Pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 Undang-Undang Pemerintahan Aceh terkait keanggotaan dan masa kerja Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh.
Selama ini KIP dan Panwaslih Aceh berstatus Adhoc, untuk menyesuaikan aturan yang ada dengan kondisi Aceh saat ini ada baiknya UUPA direvisi atau disegarkan kembali.
Dalam UU Pemilu KIP dan Panwaslih Aceh akan dipermanenkan dan para komisionernya dipilih langsung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk komisioner KIP dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk komisioner Panwaslih.
Jika melihat usia UUPA yang sudah mencapai 10 tahun, maka sudah selayaknya aturan hukum itu dievaluasi kembali. Sebab ada beberapa pasal yang harus mengikuti dinamika perkembangan ketatanegaraan, hukum, politik, dan ekonomi. Hal itu sebagaimana disampaikan Anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil.
Nasir mengatakan, adanya fakta bahwa keberadaan UU sektoral mengesampingkan UU tentang kekhususan Aceh. Kemudian juga ada keputusan MK yang menyatakan bahwa pilkada bukanlah menjadi ranah kekhususan Aceh.
Selain itu, ada beberapa pertimbangan terhadap wacana revisi UUPA, di antaranya karena ada beberapa pasal dalam UUPA yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya tak bisa menyampaikan secara keseluruhan, jika UUPA dievaluasi nanti maka masing-masing pemangku kepentingan dan pakar akan menilai apakah pasal itu memungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak,” katanya.
Sementara, menurut Anggota DPD RI asal Aceh, Ghazali Abbas Adan mengatakan, pencabutan dua pasal dalam UUPA sangat menguntungkan Aceh, karena Pemerintah Aceh dan kabupaten/ kota tidak perlu lagi menganggarkan dana dari ABPA dan APBK untuk KIP dan Panwaslih pada saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif karena sudah ditanggung oleh pemerintah pusat.
Selain itu, untuk mengurangi kepentingan politik yang tidak objektif maka pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh sebaiknya dilakukan langsung oleh KPU bukan DPRK/DPRA.
Kendati demikian, tidak semua berpikiran sama dalam hal ini. Adapun beberapa Fraksi di DPR menolak UUPA, diantaranya PAN, Gerindra, PKS, dan Demokrat. Diantara mereka berpendapat bahwa yang berhak mencabut adalah MK, tidak boleh DPR serta merta mencabut pasal ini karena membentuk undang-undang lain tanpa mekanisme.
Dalam perspektif desentralisasi asimetris, pencabutan UU tersebut selayaknya harus melalui prosedur konsultasi dan pertimbangan kepada Aceh. Karena pasal-pasal yang terdapat dalam UUPA secara umum merupakan bagian dari otonomi khusus yang dimiliki oleh Aceh.
Memang benar ketentuan dalam UUPA dimana diatur mengenai konsultasi dan pertimbangan DPRA dalam UUPA. Namun, ada juga pandangan yang menilai konsultasi dan pertimbangan DPRA dilakukan apabila pemerintah pusat hendak merubah UUPA secara keseluruhan.
Pengertian “pencabutan” peraturan perundang-undangan berbeda dengan pengertian “perubahan” peraturan perundang-undangan. Sehingga pencabutan peraturan perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perubahan peraturan perundang-undangan.
Logika hukumnya, faktanya memang belum ada satupun pasal dalam UUPA yang dirubah oleh pemerintah pusat, melainkan Dicabut.(Bdk)
Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Menyoroti polemik pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) melalui Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan DPR RI harus dipahami betul, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berpotensi menimbulkan instabilitas politik yang dapat mengancam konstruksi konstitusi RI.
Pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 Undang-Undang Pemerintahan Aceh terkait keanggotaan dan masa kerja Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh.
Selama ini KIP dan Panwaslih Aceh berstatus Adhoc, untuk menyesuaikan aturan yang ada dengan kondisi Aceh saat ini ada baiknya UUPA direvisi atau disegarkan kembali.
Dalam UU Pemilu KIP dan Panwaslih Aceh akan dipermanenkan dan para komisionernya dipilih langsung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk komisioner KIP dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk komisioner Panwaslih.
Jika melihat usia UUPA yang sudah mencapai 10 tahun, maka sudah selayaknya aturan hukum itu dievaluasi kembali. Sebab ada beberapa pasal yang harus mengikuti dinamika perkembangan ketatanegaraan, hukum, politik, dan ekonomi. Hal itu sebagaimana disampaikan Anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil.
Nasir mengatakan, adanya fakta bahwa keberadaan UU sektoral mengesampingkan UU tentang kekhususan Aceh. Kemudian juga ada keputusan MK yang menyatakan bahwa pilkada bukanlah menjadi ranah kekhususan Aceh.
Selain itu, ada beberapa pertimbangan terhadap wacana revisi UUPA, di antaranya karena ada beberapa pasal dalam UUPA yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya tak bisa menyampaikan secara keseluruhan, jika UUPA dievaluasi nanti maka masing-masing pemangku kepentingan dan pakar akan menilai apakah pasal itu memungkinkan untuk dilaksanakan atau tidak,” katanya.
Sementara, menurut Anggota DPD RI asal Aceh, Ghazali Abbas Adan mengatakan, pencabutan dua pasal dalam UUPA sangat menguntungkan Aceh, karena Pemerintah Aceh dan kabupaten/ kota tidak perlu lagi menganggarkan dana dari ABPA dan APBK untuk KIP dan Panwaslih pada saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif karena sudah ditanggung oleh pemerintah pusat.
Selain itu, untuk mengurangi kepentingan politik yang tidak objektif maka pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh sebaiknya dilakukan langsung oleh KPU bukan DPRK/DPRA.
Kendati demikian, tidak semua berpikiran sama dalam hal ini. Adapun beberapa Fraksi di DPR menolak UUPA, diantaranya PAN, Gerindra, PKS, dan Demokrat. Diantara mereka berpendapat bahwa yang berhak mencabut adalah MK, tidak boleh DPR serta merta mencabut pasal ini karena membentuk undang-undang lain tanpa mekanisme.
Dalam perspektif desentralisasi asimetris, pencabutan UU tersebut selayaknya harus melalui prosedur konsultasi dan pertimbangan kepada Aceh. Karena pasal-pasal yang terdapat dalam UUPA secara umum merupakan bagian dari otonomi khusus yang dimiliki oleh Aceh.
Memang benar ketentuan dalam UUPA dimana diatur mengenai konsultasi dan pertimbangan DPRA dalam UUPA. Namun, ada juga pandangan yang menilai konsultasi dan pertimbangan DPRA dilakukan apabila pemerintah pusat hendak merubah UUPA secara keseluruhan.
Pengertian “pencabutan” peraturan perundang-undangan berbeda dengan pengertian “perubahan” peraturan perundang-undangan. Sehingga pencabutan peraturan perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perubahan peraturan perundang-undangan.
Logika hukumnya, faktanya memang belum ada satupun pasal dalam UUPA yang dirubah oleh pemerintah pusat, melainkan Dicabut.(Bdk)
0 Response to "Logika Hukum Pencabutan Dua Pasal UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh"
Posting Komentar