RadarRakyat.Info-PADA umumnya, buku-buku sejarah menulis bahwa Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942 berdasarkan perundingan pertama Belanda dengan Jepang di Kalijati, Subang, Bandung. Tapi, Mohammad Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku, menulis tanggal 9 Maret.
Tanggal 9 Maret lebih tepat karena pada hari itu secara
resmi pemerintah Hindia Belanda yang diwakili Panglima Angkatan Perang Hindia
Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten bersumpah di hadapan Panglima Tertinggi
Balatentara Dai Nippon Jenderal Imamura: "Penyerahan yang tiada memakai
syarat suatu apapun dan yang mengenai seluruh tentara Hindia Belanda. Saat ini
adalah pada tanggal 9 Maret 1942 jam 2.50 sore," demikian dikutip Asia Raya,
9 Maret 1943.
Dalam laporan panjang Asia Raya, dimuat satu tahun setelah
penyerahan Belanda kepada Jepang, dipaparkan jalannya perundingan antara
Imamura dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Ter Poorten, yang
dimulai pada 8 Maret 1942.
"Apakah tuan sanggup membicarakan di sini tentang
menyerah atau meneruskan perang?" tanya Imamura.
"Itu tidak bisa," jawab Tjarda singkat.
"Apa sebabnya?"
"Bahwa kami sebagai Gubernur Jenderal di Hindia
Belanda," kata Tjarda, "sampai pada akhir ini mempunyai hak memimpin
balatentara. Tapi baru-baru ini hak tertinggi ini dijabat kembali oleh
Wilhelmina."
Ter Poorten menambahkan, "Saya pun tidak mempunyai hak
sedemikian."
Menurut Ide Anak Agung Gde Agung dalam memoarnya Kenangan
Masa Lampau, jawaban gubernur jenderal hanyalah suatu usaha untuk mengulur
waktu. Mendengar jawaban tersebut Jenderal Imamura naik pitam.
"Jika demikian, tuan-tuan datang kemari untuk apa? Apa
sebabnya memajukan penghentian perang pada tanggal 7 kemarin dengan memakai
utusan militer?" ujar Imamura.
"Kami memajukan penghentian perang karena kita tak
tahan hati bahwa kota Bandung akan mengalami bencana yang lebih hebat daripada
ini," dalih Tjarda, "dan hendak membuka pintu Bandung untuk
Balatentara Nippon."
"Kalau begitu," kata Imamura, "Balatentara
(Belanda) menyerah seluruhnya saja."
“Saya tidak berhak," Tjarda mengelak, "hanya
Wilhelmina yang mempunyai kuasa. Dan untuk mengadakan perhubungan dengan
Wilhelmina tidak mungkin."
"Pertanyaan dilakukan berulang-ulang," tulis Asia
Raya, "akan tetapi jawabannya berputar-putar."
Tjarda mengakui tak berdaya secara militer, tapi dia meminta
bermusyawarah dalam soal pemerintahan dan ekonomi. Imamura menolak
mentah-mentah: "Sekarang kita berada di tengah-tengah peperangan.
Persidangan ini bukan tempat untuk permusyawaratan diplomatik. Maksud kami
hanyalah membicarakan: menyerah atau meneruskan peperangan."
Tjarda kembali berlindung di balik alasan bahwa peperangan
akan membinasakan penduduk Bandung dan karena itu dia hendak menyerahkan
Bandung dan sekitarnya kepada Jepang dengan harapan Belanda masih bisa
menguasai daerah lain. Merebut Bandung itu mudah, ujar Imamura, Balatentara Dai
Nippon akan merebut kota itu dengan tenaga sendiri. "Jika maksud tuan
hanya hendak menyerahkan Bandung dan tidak mau menyerah, sebagaimana yang tuan
pertahankan, tak berguna lagi untuk meneruskan pembicaraan ini. Berarti tuan
memilih melanjutkan perang," kata Imamura.
Sementara itu, Ter Poorten menyatakan, "Suatu hal yang
nyata bagi kami ialah bahwa tentara Belanda sudah terang dan nyata tiada dapat
melawan Nippon." Mendengar perkataan tersebut, "Tjarda melihatnya
dengan sangat gusarnya dan menentang muka Ter Poorten dengan keadaan
marah," tulis Asia Raya.
Antara Tjarda dan Ter Poorten terjadi pertentangan. Menurut
Gde Agung, Ter Poorten berpendapat tidak ada jalan lain selain menyerah dan
menghentikan peperangan karena semua kekuatan militernya sudah dihancurkan oleh
Jepang dan dia tidak memiliki lagi pasukan cadangan untuk diajukan ke medan
pertempuran.
"Sedangkan Gubernur Jenderal menghendaki agar
peperangan diteruskan saja dengan perang gerilya yang berpangkalan di daerah
Bandung selatan," tulis Gde Agung. "Saran tersebut tidak dapat
diterima oleh Jenderal Ter Poorten dilihat dari sudut teknis militer."
Imamura pun memberikan waktu kepada Ter Poorten untuk
mengumumkan lewat radio agar seluruh tentara Belanda meletakkan senjata dan
menghentikan pertempuran. "Jika dapat menetapkan hati untuk menyerah dan
hendak menyiarkan perintah penghentian perang kepada tentara Hindia Belanda
seluruhnya dengan memakai radio, besok jam 10 datanglah tuan-tuan kemari lagi
supaya kami dapat mendengarkan hasil daripada penyiaran perintah menghentikan
perang itu," perintah Imamura.
Keesokan harinya, 9 Maret, Ter Poorten tanpa disertai
Tjarda, menghadap Imamura untuk "bersumpah" menyatakan penyerahan
tanpa syarat pemerintah Hindia Belanda. "Tadi pagi disiarkan dengan
perantara radio bahwa kami menyerah sebagai panglima tertinggi Hindia
Belanda," kata Ter Poorten. "Akan tetapi kurang terang pula, apakah
siaran ini sampai pada tentara Hindia Belanda seluruhnya."
"Cukuplah jika tuan bersumpah menyerah sebagai panglima
tertinggi. Kami mengakui kesengsaraan tuan. Kami sangat iba hati, sebagai
Panglima Tertinggi Balatentara Dai Nippon," kata Imamura.
Hari itu juga, kata Hatta, pada malam hari, radio Bandung
menyiarkan lagu kebangsaan Belanda "Wilhelmus" sebagai tanda Hindia
Belanda menyerah kepada Jepang. Siaran radio itu ditutup dengan kata-kata
legendaris: "Kami berakhir sekarang. Selamat jalan sampai masa-masa yang
lebih baik. Hidup Sri Ratu." (h)
0 Response to "Sejarah : Dalih Belanda Enggan Menyerah"
Posting Komentar