RadarRakyat.Info-“Dji.. Temen temen gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?”
Itu kalimat
pembuka yang sering teman teman saya tanyakan. Biasanya duduk mendekat,
suaranya tiba-tiba memelan supaya yang lain tidak dengar. Lalu mereka mulai
membuka obrolan dengan “Gimana Anies?”
Lalu setelah
saya cerita tentang situasi pilkada terkini dari kacamata seorang jubir, baru setelah
itu baru mereka melemparkan kalimat tadi.
“Temen-temen
gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?”
“Nggak
kenapa napa,” balas saya sembari tertawa.
Yang terjadi
selanjutnya adalah obrolan terbuka dan apa adanya dari saya kepada siapapun
teman yang bertanya. Saya memang selalu senang kalau teman memilih untuk
bertanya langsung, karenanya saya akan berikan jawaban seterbuka mungkin untuk
apresiasi kebaikan dirinya untuk bertemu saya langsung ketimbang ngomel-ngomel
secara terbuka apalagi di sosial media.
Nyari 100%
pasti tidak saya gubris. Twitter, Facebook, WhatsApp, bukanlah medium yang saya
pilih kalau mau berdiskusi. Capek tek-tok-nya. Bales-balesin satu persatu nggak
selesai selesai, belum lagi yang lain nyamber, lalu orang lain lagi nyamber.
Berusaha
menjelaskan sesuatu yang krusial di jejaring sosial itu seperti disidang di
depan khalayak umum. Argumentasi bukan jadi utama lagi, akan jadi kesempatan
bagi orang untuk menghardik dan menghakimi. And im not in any trial. I don’t
have to answer to anybody. Tetapi kalau mau berbincang langsung, saya jawab
dengan senang hati.
Biasanya,
setelah pertanyaan “Temen-temen gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?”
saya jawab dengan becanda, dia selalu lempar pertanyaan sebenarnya “Jadi elo
tuh kenapa milih Anies?”
Nah ini saya
bisa jawab. Lebih mudah, kalau saya mulai dengan:
“Kenapa saya
tidak memilih Pak Basuki”, baru “Kenapa saya memilih Mas Anies”
Setuju?
Baiklah mari kita mulai.
Mengapa
tidak memilih Pak Basuki?
Karena saya
sejak awal tidak memilih beliau. Saya memilih Pak Jokowi. Saya memilih Gubernur
yang peduli dengan CARA dia melakukan sesuatu bukan hanya melakukan tanpa
pertimbangan dalam tindakan. Gubernur yang memilih pendekatan humanis. Yang
berjanji tidak akan menggusur dan memilih menggeser. Gubernur yang ingat
sakitnya digusur.
Penggantinya,
tidak memiliki pendekatan yang sama. Anda bisa cek di TL akun-akun pendukungnya
dan Anda mungkin bisa tonton argumennya di Youtube, setiap kali ditanya soal
janji kampanye jawaban mereka selalu sama: “Yang janji kan Pak Jokowi. Bukan
Pak Basuki.”
Berarti
anggapan saya benar. Semakin kuat alasan tidak berlanjut dengan Pak Basuki,
karena beliau memilih jalan sendiri yang berbeda dengan jalan yang diambil Pak
Jokowi.
Dampaknya,
dalam beberapa bulan Pak Basuki menggusur 8.000 kepala keluarga. Coba
bandingkan dengan Fauzi Bowo yang menggusur 3.200 kepala keluarga dalam 5
tahun!
Sampai sini
saja harusnya cukup membuat Anda tercengang. 8.000 dalam beberapa bulan vs
3.200 dalam 5 tahun. Kalau dibilang Pak Basuki bisa kerja, kelihatannya bisa
banget bahkan lebih gesit daripada Pak Foke dalam urusan menggusur.
Kelihatannya
Pak Basuki ingin bekerja dengan cepat agar pembangunan berjalan. Tapi Ayah
almarhum pernah berpesan “Cepat, boleh. Buru-buru, jangan”.
Kalau angka
itu tidak cukup membuat Anda kaget karena Anda bilang “Tapi kan dipindahin ke
tempat tinggal yang lebih baik, yang dulu begitu nggak?” coba Anda baca artikel
ini. Kalau Anda peduli dengan warga Jakarta dan bukan hanya peduli siapa yang
menang pilkada, dengan segala hormat, coba baca artikel tadi.
Selain Anda
bisa baca cerita mengenai pilunya orang-orang yang dipindah ke rusun setelah
dicabut dari kehidupan lamanya sehingga tidak bisa berpenghasilan (Ya bayangin
aja seumur hidup biasa nyari penghasilan dari laut tiba tiba dipindah 24km dari
sana) juga dituliskan di artikel itu bahwa warga gusuran menambah jumlah
penduduk di bawah garis kemiskinan.
Saya tahu
ada video penghuni rusun yang bilang hidupnya nyaman dan nikmat di tempat yang
sekarang. Okay, berapa orang tuh? Coba bandingkan dengan yang kecewa dan tidak
terima digusur.
Kalau memang
relokasi itu dilakukan dengan baik dan dengan manusiawi, ya mana mungkin sih
sebanyak itu yang protes?
Kan warga
itu hanya ingin untuk tetap punya kehidupan. Punya penghasilan. Punya
pekerjaan. Kalau hidup mereka nyaman sebagaimana harusnya dijamin oleh
pemerintah, mana mungkin sih mereka protes?
Sebagaimana
banyaknya warga yang protes dengan reklamasi Teluk Jakarta. Sesuatu yang nggak
tahu kenapa ngotot dibela oleh banyak pendukung Pak Basuki. Kurang jelas apa?
Ditolak Greenpeace yang hidup matinya mengenai lingkungan. Ditolak Ibu Susi
Pudjiastuti yang jelas jelas adalah Menteri Kelautan dan Perikanan. Ditolak
oleh Marco Kusumawidjaja yang reputasinya dibangun sejak begitu lama sebagai
ahli tata kota.
Saya tahu
banyak yang membela reklamasi di timeline twitter Anda, tetapi kompetensi
mereka dibandingkan Greenpeace, Ibu Susi, dan Mas Marco itu apa?
Anda mau
membandingkan argumen seorang persona di twitter dengan Menteri?
Itu
keyakinan Anda?
Mungkin
pertanyaan lebih mendasar di Pilkada DKI Jakarta ini adalah: Anda memilih
Gubernur untuk anda. Atau untuk seluruh warga Jakarta?
Anda mencari
pemimpin yang bisa memperjuangkan kepentingan Anda, atau Anda mencari pemimpin
yang bisa memperjuangkan kepentingan seluruh warga Jakarta?
Karena untuk
setiap jawaban, Anda akan bertemu dengan nama gubernur yang berbeda.
Kalau Anda
mencari Gubernur untuk Anda sendiri, maka pilih Pak Basuki, saya tidak akan
menghalangi Anda. Bahkan saya mendukung Anda.
Tapi saya
akan ada di seberang Anda.
Karena saya
tidak perlu dibantu oleh Gubernur DKI Jakarta. Saya terdidik dan saya berdaya.
Saya bisa mandiri dan memperjuangkan keperluan
saya
sendiri. Adalah warga Kampung Akuarium, warga Kampung Duri, dan seluruh warga
DKI Jakarta lain yang suaranya tidak ada di sosial media, yang lebih butuh
bantuan dari seorang Gubernur DKI Jakarta.
Mereka butuh
dibantu untuk bisa memiliki rumah.
Mereka butuh
dibantu untuk bisa memiliki pekerjaan.
Mereka butuh
dibantu agar anak anak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas dan
berkelanjutan.
Mereka ini
yang perlu dibela.
Bukan saya.
Saya mencari
pemimpin yang mau bekerja untuk SEMUA warga Jakarta.
Saya mencari
pemimpin yang bahkan mengajak SAYA ikut bekerja.
Saya mencari
pemimpin yang datang dan bicara “Pandji, mohon maaf tapi saya butuh bantuanmu.
Warga Jakarta banyak yang perlu dibela dan diperjuangkan. Kamu punya expertise
yang dibutuhkan. Maukah?”
Saya mencari
pemimpin yang menggerakkan.
Saya mencari
pemimpin yang punya gagasan. Jelas dari sisi pendidikan dia punya dukungan ilmu
untuk bisa menemukan gagasan terbaik untuk Jakarta.
Saya mencari
Arsitek bagi kota Jakarta. Arsitek itu kan tidak ikut kerja nyusun bata dan
nyemen tembok. Itu dikerjakan oleh pekerjanya. Arsitek itu kerjanya adalah
menggagas bangunannya. Mendesain. Mengukur. Menghitung. Bahkan di banyak firma
Arsitek, sang Arsitek tidak menggambar apapun karena ada lagi yang kerjanya
melakukan itu.
Kendatipun
dia tidak ikut menyusun batu bata, kendatipun dia tidak menggambar apa-apa,
tetapi kehadiran Arsitek, gagasan seorang Arsitek, menentukan hasil akhir dari
bangunan tersebut.
Kalau Anda
mau memilih pekerja, ya silakan. Tapi di mana-mana, pekerja ya kerja untuk yang
punya gagasan.
Saya mencari
pemimpin yang bisa memberikan Grand Design.
Saya mencari
pemimpin yang punya gagasan.
Saya juga
mencari pemimpin yang tahu caranya berhadapan dengan warganya sendiri.
Tahu
bagaimana cara berbicara dengan rakyatnya sendiri. Mendengarkan sebagai
pimpinan, bukan sebagai atasan yang merasa jadi pemilik kebenaran. Mengerti
ketika warganya salah dan mengerti caranya menyikapi kesalahan warganya.
Saya tidak
mau punya pemimpin yang bilang dia ingin isi watercanon dengan bensin untuk
membakar pendemo bayaran. Lah ketika di jalanan berhadapan dengan watercanon
bedainnya mana yang dibayar dan engga gimana?
Saya tidak
mau punya pemimpin yang ketika tahu ada warganya yang menangis karena rumah
yang dia punya lenyap digusur, karena dicabut kehidupannya, malah disebut
nangis sinetron. Kok ya insensitif amat jadi pemimpin.
Biarlah
cukup Amerika yang punya pemimpin seperti itu (Donald Trump juga pernah
menuding senator Schumer pura-pura nangis ketika Schumer protes terhadap
kebijakan imigrasi Trump).
Saya tidak
mau punya pemimpin yang ngebully warganya sendiri di depan awak media.
Saya tahu
Pak Basuki dan pendukungnya bilang Ibu Yusri adalah pencuri karena menguangkan
KJP sementara KJP tidak boleh diuangkan. Ibu itu salah.
Betul, saya
setuju Ibu itu salah, tetapi Ibu Yusri BUKAN MALING.
Kenapa saya
bisa bilang begitu?
Karena mana
pernah sih maling komplen ke orang yang baru dia curi uangnya?
Kalau Ibu
Yusri itu sadar dia maling, mana mungkin sih dia datengin Pak Basuki untuk
protes?
Mana ada
orang abis nyuri TV, besoknya nyamperin korban dan protes “Semalem saya nyuri
TV Bapak nih, saya pasang di rumah kok gambarnya kresek-kresek?”
Mana ada?
Ibu Yusri
itu bukan maling. Ibu Yusri adalah warga DKI Jakarta yang tidak mengerti
aturannya. Makanya dia datang untuk bertanya dengan nada protes.
Kalau Pak
Basuki tidak tahu caranya berhadapan dan menjelaskan kepada warganya sendiri
yang tidak mengerti aturan, mungkin ada baiknya Pak Basuki ga usah jadi
Gubernur sekalian.
Lebih
krusial lagi, ketidakmampuan Pak Basuki (dan pendukungnya) mengidentifikasi Bu
Yusri sebagai warga yang kebingungan, jadi indikator kuat betapa beliau (dan
pendukungnya) jauh jaraknya dengan warga DKI Jakarta menengah ke bawah.
Itulah
mengapa, saya memilih pemimpin yang bisa dan mampu bekerja untuk seluruh warga
Jakarta.
Itulah
mengapa pilihan saya jatuh ke Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Bagaimana
dengan segala tudingan terhadap Anies-Sandi?
Bagaimana
dengan program Anies-Sandi?
:)
Saya percaya
Anda punya cukup kebijakan untuk mencari tau sendiri jawabannya. Anda bisa baca
dari berbagai sumber, Anda bisa bandingkan, Anda bisa perhatikan diskusinya,
Anda bisa simpulkan sendiri.
Saya adalah
jubir resmi, apapun jawaban saya sebagaimanapun saya berusaha untuk objektif,
tentu saya besar kemungkinannya untuk bias. Silakan cari tahu sendiri.
Sebaliknya,
saya mau perlihatkan Anda ini.
Dari
beberapa survei, kelihatan sekali elektabilitas Agus-Sylvi turun sementara
Anies-Sandi mendekat ke Basuki Djarot.
Bahkan kalau
dilihat trend-nya, Agus-Sylvi terus turun sementara momentum Anies-Sandi begitu
tinggi.
Apa artinya?
Artinya yang kini punya peluang untuk mengalahkan Basuki-Djarot kini tinggallah
Anies-Sandi.
Pasangan
underdog yang awalnya bahkan tidak pernah dianggap punya peluang.
Kalau Anda
percaya dengan yang saya percayai, kita bisa sama-sama bergabung untuk
memastikan Jakarta kembali punya pemimpin yang humanis.
Yang peduli
dengan perasaan warganya.
Yang punya
gagasan untuk mengarahkan yang kerja.
Yang bisa
jadi jembatan segala keragaman di Jakarta.
Yang bisa
berdialog dengan semua kalangan ketika masalah terjadi tanpa perlu minta
bantuan orang lain untuk selesaikan.
Yang bisa
mempersatukan.
Yang
dibutuhkan seluruh warga Jakarta termasuk dia yang suaranya tidak pernah Anda lihat
di sosial media.
Sampai di
sini, pasti ada yang dibenaknya bertanya tanya
“Gila nih
Pandji. Dibayar berapa sih dia sampai seperti ini?”
Demikianlah
cara pandang orang orang self-righteous yang merasa hanya dirinya yang benar.
Hanya dirinya yang tulus. Yang lain salah. Yang lain pasti bayaran.
Rada arogan
menurut saya.
Biarlah
mereka berkubang di kolam blunder-nya.
Biar mereka
yakini saya dibayar.
Karena kalau
dibayarnya dengan “Jakarta yang maju kotanya, bahagia warganya” saya berani
bilang, betul, saya dibayar Anies Baswedan.
Penulis:
Pandji Pragiwaksono (fm)
0 Response to "Pengakuan MENGEJUTKAN Pandji Pragiwaksono: Saya Dibayar Anies "
Posting Komentar