RadarRakyat.Info-Memeriksa kembali pemahaman anti korupsi kita !. Seruan ini menjadi penting pada konteks hari-hari ini. Hal ini bukan karena semakin maraknya praktek korup yang terkuak atau karena ingin mendorong lebih jauh pemberantasan korupsi supaya lebih terarah. Latar belakang dari tulisan ini adalah adanya fenomena pembajakan isu anti korupsi salah satu tokoh yang merasa dirinya anti-korupsi. Namun sebenarnya justru mengangkangi capaian anti korupsi yang menurut saya paling sistemik, nyata dan berdampak di negeri ini. Ironisnya, dengan sadar hal ini didukung dan dirayakan oleh sebagian teman-teman yang pakemnya atau paling tidak electoral issues-nya bisa dibilang Anti Korupsi.
Untuk
memahami maksud saya ini, terlebih dulu kita harus menyepakati jawaban dari
satu pertanyaan mendasar dari gerakan anti-korupsi. Pertanyannya adalah apa
sebenarnya capaian startegis terpenting gerakan anti korupsi pasca Suharto
jatuh ?. Ragam jawaban bisa muncul dari pertanyaan tersebut. Mungkin sebagian
dari kita akan menjawab pembentukan KPK,, lahirnya UU Tipikor ataupun lahirnya
TAP MPR X/1998. Jawaban tersebut tentu benar dan tidak salah, namun bagi saya
capaian terbesar dan terstrategis dari gerakan Anti Korupsi adalah lahirnya
beragam macam peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelenggaraan
keuangan negara, mulai dari UU Keuangan Negara, UU PNBP, UU Perbendaharan
Negara dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan dan Tanggungjawab Keuangan
Negara dan UU Pajak dan Retribusi Daerah.
Keseluruhan
peraturan perundang-undangan tersebut merupakan capaian terstrategis dari
gerakan anti-korupsi dikarenakan, berbagai macam peraturan perundang-undangan
tersebut ditujukan dan didesain untuk menertibkan pelaksanaan pengelolaan
keuangan negara, mencegah penyimpangan dan menjalankan pelaksanaan keuangan
negara secara profesional.
Salah satu
tantangan terbesar dari kebijakan kebijakan reformasi keuangan negara ini
adalah menghapus dana-dana off budget, dengan memerintahkannya memasukan
seluruh pendapatan dan pengeluaran negara ke dalam mekanisme APBN (memasukan ke
dalam kas negara). Pada kebijakan terakhir, hal ini disempurnakan dengan
memberlakukan Treasury Single Account (TSA) pada tahun 2009.
Apa itu dana
off budget?
Dana off
budget merupakan dana-dana diluar struktur APBN, namun dipungut atas nama
publik, oleh lembaga publik untuk kemudian pengelolaannya dilakukan atas
kebijakan pimpinan lembaga publik tersebut secara “suka-suka”, istilah yang
dipopulerkan oleh Ahok supaya kedengeran legal adalah “diskresi”.
amolatinavalentine.com
Pada masa
Orde Baru, dana off budget ini sangat popular, dalam berbagai bentuk Iuran dan
pungutan, baik kepada masyarakat maupun BUMN. Iuran-iuran yang terkenal
misalnya, Iuran TVRI, Iuran Reboisasi, dan pungutan terhadap keuntungan BUMN.
Iuran/pungutan ini muncul dari kebijakan kepala negara/institusi secara
sepihak, tanpa mekanisme yang layak. Mekanisme yang layak yang dimaksud disini
adalah adanya pelibatan wakil rakyat. Terlepas suka atau tidak suka dengan
keberadaan DPR/DPRD, sebagai sebuah institusi keberadaan lembaga parlemen
merupakan bagian penting dalam sistem demokrasi. Pada konteks keuangan negara,
dalam hal ini pungutan yang membebankan rakyat, maka mekanisme yang wajib dituruti
adalah adanya persetujuan parlemen terhadap setiap pungutan kepada masyarakat.
Hal ini tidak mengandung pengertian teknis akuntabilias semata, namun lebih
dari itu terdapat subtansi philosophy mendasar, yang dapat ditarik sampai
dengan Revolusi Amerika dengan adagiumnya yang terkenal no tax without
representation.
Salah satu
argumentasi yang sering digunakan untuk mendukung dana off budget adalah untuk
menciptakan fleksibilitas penggunaan dana untuk mengatasi rigiditas mekanisme
anggaran. Dana off budget penting untuk mendukung gerak cepat pejabat negara
dalam membiayai kegiatan publik, tanpa melalui proses penganggaran di
APBN/APBD.
Pada era
Ahok pengelolaan dana off budget seolah-olah mendapatkan posisi yang terhormat,
yang berbeda dengan awal-awal reformasi yang dianggap sebagai systemic
corruption. Salah satu narasi yang sering disebut dengan gagah adalah membangun
tanpa menggunakan APBN/APBD. Tentu hal ini terkesan heroik, membangun tanpa
APBN/APBD !.
Apalagi jika
sudah dibarengi berfoto di RPTRA Kalijodo yang “Instagramable”, tentu manfaat
model off budget Ahok semakin terasa manfaatnya.
(sumber :
Lin Che Wei Facebook)
Tapi dibalik
keheroikan tersebut kita diajarkan oleh pengalaman masa lalu, berdasarkan
pengalaman terdahulu selalu ada udang dibalik off budget. Saya kasih contoh
yang cukup tenar dari penyimpangan dana off budget ini. Pernah dengar beasiswa
Supersemar ?, siapa yang tidak tahu. Beasiswa ini telah memberikan bantuan
beasiswa ratusan ribu siswa miskin di seluruh Indonesia sejak tahun 1970-an.
Bisa dibilang beasiswa Supersemar ini adalah LPDP-nya Indonesia pada saat itu.
Darimana sumber dana Supersemar ini ?. Berdasarkan PP 15 Tahun 1976, setiap
Bank Milik Negara wajib menyetorkan labanya sebesar 5 % untuk kegiatan-kegiatan
keperluan di bidang sosial. Salah satu bidang sosial yang dimaksud, berdasarkan
KepMenkeu Nomor 333/KMK.011/1978, adalah pendidikan. Untuk melaksanakan ini
maka ditunjuklah lembaga pengelola swasta dalam bentuk yayasan. Yayasan ini
dikenal dengan Yayasan Supersemar. Yayasan Supersemar merupakan yayasan yang
diketuai Presiden Indonesia saat itu, Bapak H.M Suharto. Tidak dipungkiri,
beasiswa Supersemar telah berhasil mencetak ribuan sarjana-sarjana dan membantu
biaya pendidikan bagi orang yang tidak mampu. Namun dibalik itu semua, terdapat
aliran dana yang tidak diketahui oleh publik diduga mengalir untuk membiayai
kegiatan-kegiatan perusahaan sanak family Suharto. Singkat cerita, Suharto pun
didakwa melakukan korupsi terkait dengan aliran-aliran dana ini, walaupun
kemudian dihentikan karena dianggap tidak mungkin diadili karena alasan
kesehatan
Dari cerita
di atas, kita bisa melihat bagaimana praktek korupsi di atas dijalankan secara
“legal”. Hal ini bermulai dari “diskresi” bapak Presiden dengan mengeluarkan
PP, kemudian diikuti dengan “diskresi” Bapak Menteri dengan mengeluarkan
keputusan Menteri, yang berakhir dengan mengalirnya dana tersebut ke Yayasan
Supersemar. Tapi pada kenyatannya, seperti terungkap dalam temuan Kejaksaan
Agung, final beneficiary dari Yayasan Supersemar tersebut tidak hanya siswa
yang membutuhkan, namun diduga mengalir masuk ke perusahaan sanak family
Presiden Suharto.
Dari kasus
di atas kita dapat simpulkan terdapat beberapa karakteristik utama dari dana
off budget. Pertama, dia merupakan keputusan sepihak eksekutif tanpa pelibatan
parlemen. Kedua, off budget melibatkan pihak swasta dalam pengelolannya, yang
menghilangkan karakter ke”publikan” dana tersebut.
Ahok dan
Dana Off Budget
Kenapa dana
off budget selalu menjadi modus favorit tindakan korup ?. Hal ini tidak lain
dan tidak bukan dikarenakan adanya “diskresi” yang luas dalam penggunaan
dana-dana tersebut dan tampak seolah-olah legal. Gurihnya dana off budget,
walaupun dia dipungut atas nama publik, namun dia tidak masuk ke dalam sistem
keuangan negara. Oleh karenanya, tidak masuk sebagai obyek pengawasan keuangan
lembaga auditor.
Kesukaan
Ahok dengan dana-dana off budget ini sudah terlihat sejak masa dia menjadi
Wakil Gubernur. Salah satu yang fenomenal adalah mengalirnya dana CSR
perusahaan di DKI Jakarta ke Ahok Centre pada tahun 2013. Akrobat Ahok ini
menghasilkan semprotan keras dari Bang Faisal Basri. Tentu sebagai aktivis anti
korupsi, yang tidak kita ragukan lagi baik pemahaman maupun integritasnya, Bang
Faisal paham betul betapa berbahayanya dana-dana off budget ini jika dibiarkan
dan tidak dihentikan.
Sadar akan
kesalahannya, Ahok kemudian ber”tobat” bukan untuk menghentikan dana off
budget, tapi mengubah modus pengelolaan dana off budget-nya. Bahkan pasca
menjadi Gubernur malah justru melakukan ekspansi dengan mengembangkan
model-model pungutan lainnya, salah satu yang fenomenal dan kontroversial
adalah Kontribusi Tambahan untuk penambahan KLB dan Reklamasi.
Modus
pengelolaan dana off budget Ahok bertransformasi dan berkembang. Ahok tidak
lagi menggunakan Ahok Centre untuk mengelola dana ini. Ahok mengubah modusnya
dengan hanya menerima barang dalam bentuk jadi. Mekanisme yang dilakukan adalah
dengan audit dan appraisal untuk menentukan apakah kontribusi tersebut sudah
sesuai dengan nilai “kewajiban” kontribusi tambahan yang ditentukan, sebelum
diterima sebagai aset daerah.
Lagi-lagi
kita harus mengagumi retorika Ahok, audit dan appraisal dua kata kunci yang
kedengerannya Akuntabel dan Transparan. Pertanyannya, apa iya ?. Salah satu isu
dari model pengelolaan dana off budget Ahok ini adalah terkait dengan proses
pengadaan barang dan jasa dari kontribusi non-uang tersebut.
Pertanyaannya
adalah apakah proses pengadaan barang/jasa tersebut tunduk pada aturan
pengadaan barang dan jasa pemerintah ?. Tentu jawabannya adalah Tidak. Pada
titik inilah ruang “bermain” itu terjadi, siapa yang mengerjakan, bagaimana
dikerjakan, dan apakah ada conflict of interest antara yang mengerjakan dengan
pejabat publik yang memutuskan diterima atau tidaknya itu barang sebagai
kontribusi tambahan ?. Jika terjadi dugaan korupsi, pertanyaan-pertanyaan ini
merupakan rumusan standar dalam mencari unsur niat jahat dari sebuah tindak
pidana korupsi. Namun demikian, jika pun ada conflict of interest dan ada niat
jahat, bagi hukum ini bukan merupakan bagian dari perbuatan tindak pidana
korupsi yang bisa diusut karena bukan bagian dari keuangan negara. Jadi kita
harus curiga, jika pada satu cuplikan video penandatangan perjanjian kontribusi
tambahan reklamasi, kita bisa mendengar celetukan dari Ahok “ah kalo ini jalan
nggak perlu ngasih uang buat kampanye lagi nih”.
Mungkin
sebagian akan bilang Ahok itu BTP (bersih, transparan dan profesional). Mungkin
iya mungkin tidak, tapi mohon jadi periksa beberapa fakta yang muncul dalam
kasus korupsi sanusi, misalnya, seperti catatan Arisman yang ditemukan KPK
tentang daftar kontribusi tambahan, penelusuran Tempo tentang adanya proposal
teman ahok, dan fakta kongkow Ahok sambil makan empe-empe dengan pengembang
merupakan sinyal adanya persoalan dengan sistem off budget Ahok dan – sorry to
say – integritas Ahok.
Tapi jikapun
Ahok, for the sake of the argument, adalah BTP. Pertanyaannya bagaimana jika
Ahok sudah tidak menjadi gubernur dan ternyata penggantinya adalah Gubernur
“Muslim yang korup” – dalam realitas hipotesis Ahokers (ini sarkasme yah
!!!!)-. Apakah sistem ini tidak akan dimanfaatkan oleh yang bersangkutan untuk
secara bebas melakukan tindakan korup?. Bagi saya ini justru bahaya terbesar
dari dana-dana off budget Ahok, karena mengancam secara sistemik terhadap
capaian pemberantasan korupsi, jika dibiarkan dan dirayakan.
Hal tersebut
diatas hanya merupakan satu isu dari banyak isu dalam dana off budget ala Ahok.
Beberapa pertanyaan lainnya misalnya terkait dengan pengendalian pembangunan:
apakah kontribusi tambahan ini satu-satunya variable dalam menentukan boleh
tidaknya suatu pembangunan gedung ?, seberapa besar dia menjadi variable yang
menentukan ?, bagaimana mendudukan kontribusi terhadap keseluruhan pengendalian
pembangunan gedung di Jakarta ?. Belum lagi persoalan lain jika dikaitkan
dengan integritas sistem keuangan negara yang ada saat ini. Perlu diingat
sistem keuangan negara saat ini merupakan sistem yang dibangun untuk mendorong
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Persoalan
dari Ahok adalah dia tidak merasa bahwa kebijakan itu merupakan kebijakan yang
melanggar, banyak pembelaan yang dilontarkan dia dan menyatakan bahwa dia akan
melanjutkan model pengelolaan dana off budget tersebut. Tidak kurang tokoh
seperti Bambang Widjanjanto, Lie Che Wie, dan pegiat anti korupsi non-ahoker
lainnya sudah melancarkan banyak kritik terhadap kebijakan tersebut, bahkan
Ketua KPK pun sudah menyatakan bahwa kontribusi tambahan harus masuk APBD.
Jadi terkait
dengan pertanyaan mendasar pada Pilkada, masih yakin Ahok anti korupsi ?. (gr)
0 Response to "Membongkar Mitos Anti Korupsi Ahok."
Posting Komentar