RadarRakyat.Info-PERANG selalu menista kemanusiaan. Atas nama dendam, kemenangan, dan bertahan hidup; orang yang terlibat dalam perang melakukan pembunuhan, pembantaian, bahkan pencincangan –untuk menyebut kanibalisme. Cerita ini selalu ada dalam setiap perang, di mana pun.
Selama
revolusi, badan-badan perjuangan di Jakarta bukan hanya menentang pendudukan
Sekutu (Inggris dan Belanda), tapi juga mencegah pulihnya kehidupan sipil
Belanda. Caranya dengan melakukan serangkaian teror. Segala cara ditempuh untuk
menakut-nakuti orang Belanda. Ada yang membuat coretan-coretan di dinding
dengan nada mengancam. Ada juga yang sengaja berperilaku aneh di dekat tempat
orang-orang Belanda untuk memberi kesan mereka sudah “ditandai” atau berarti
ajal mereka sudah dekat.
Menurut
sejarawan School of Oriental and African Studes, Univesity of London, Robert
Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, orang Belanda
yang sedang berjalan-jalan disergap, dicekik, dipotong-potong mayatnya, lalu
dibuang ke kanal-kanal. Molenvliet, kanal panjang –di antara Jalan Hayam Wuruk
dan Gajah Mada– yang mengalir ke selatan dari kota tua, adalah tempat favorit
untuk melakukan penyergapan semacam ini. Demikian juga jalan utama dari Senen
ke Jatinegara. Rumah-rumah keluarga Belanda dikepung pada malam hari dan
penghuni di dalamnya dibunuh.
“Kosakata
Hindia Belanda yang sudah berwarna-warni bertambah lagi dengan kata
getjintjangd (in stukjes gehakt atau dicincang-Red), yang artinya dicincang
menjadi serpihan-serpihan kecil,” tulis Cribb.
Peperangan
jenis ini cocok untuk Jakarta. Kecuali wilayah Menteng, sebuah daerah yang
relatif baru dan makmur di selatan Koningsplein (sekarang kawasan Lapangan
Monas atau Medan Merdeka), tak ada wilayah permukiman yang aman bagi orang-orang
Belanda sekalipun dikelilingi penjaga dan kawat berduri. Kampung-kampung yang
terletak persis di belakang rumah-rumah orang Belanda dan pintu belakang
kantor-kantor yang dulu menyediakan buruh untuk menjamin aktivitas di Batavia
berjalan, justru menyediakan pembunuh. Para penyerang melakukan perang gerilya
kota dan dengan cepat menghilang sebelum bantuan datang. Aksi ini tidak terlalu
bernilai strategis namun dampak psikologisnya cukup besar.
Keadaan
serupa terjadi di Bandung. Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut
Kembali!, “rumah-rumah keluarga Belanda dikepung di waktu malam, dan para
penghuninya dibantai dan tubuhnya dilempar di kali. Dalam kamus orang-orang
Belanda dengan cepat terdapat kata getjintjangd, yang artinya dicincang.”
Orang Belanda
yang berani masuk kampung harus berhadapan dengan kemarahan dan kebencian
penduduk. Penduduk akan berteriak: “Siaaap!” dan kemudian diteruskan dengan
teriakan-teriakan yang sama oleh penduduk lain. Mendengar teriakan itu, seluruh
penduduk kampung secara serentak berlari ke luar rumah. “Jika orang itu
berhasil ditangkap, kadang-kadang secara beramai-ramai diarak keliling kampung
untuk kemudian ‘diselesaikan’ (maksudnya, dibunuh). Tidak peduli laki-laki atau
perempuan, dewasa atau kanak-kanak, di mana saja ditemukan, mereka menjadi
sasaran buruan para pemuda yang beringasan,” tulis Saleh, peserta Akademi
Militer di Tangerang pada 18 November 1945.
Di Slawi,
selatan Tegal, seperti dilaporkan Soeloeh Rakyat tanggal 5 September 1947,
mengutip kantor berita Aneta, polisi-sipil memberitahukan ada 17 orang Belanda
dewasa dan lima anak-anak menjadi “korban zaman bersiap” pada 11 Oktober lalu.
“Mereka dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diperintah membungkukkan diri di
depan bendera merah-putih serta berpekik ‘merdeka’, dan setelah selesai
‘upacara’ itu, mereka dibunuh dengan martil dan bambu runcing. Kanak-kanak
dilempar tinggi dan kemudian ditangkap dengan bambu runcing. Korban-korban itu
belum semuanya mati, akan tetapi dilemparkan saja ke lobang kuburan yang sudah
disediakan.”
“Tidak hanya
orang Belanda, orang Indonesia yang dicurigai atau dituduh mempunyai hubungan
dengan Belanda, juga tidak akan diberi ampun dan dihabisi juga,” tulis Saleh,
dengan pangkat Letnan Dua dan jabatan Komandan Peleton Divisi Siliwangi, dia
ikut dalam Perang Kemerdekaan 1946-1949.
“Demikianlah
suasana revolusi waktu itu. Arus balik terjadi. Penduduk meluapkan kebenciannya
kepada setiap hal yang berbau Belanda. Banyak di antara mantan tawanan dan
interniran ini shock dengan apa yang terjadi di luar kamp, dan kemudian balik
lagi ke kamp, mencari selamat dan perlindungan tentara Jepang. Sementara
tentara Jepang juga tidak dapat berbuat banyak.”
Dalam
situasi chaos semacam itu, sebagian orang Jepang ikut ambil bagian dalam aksi
itu. Pramoedya Ananta Toer dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid II
(1946), menulis bahwa Dinas Penerangan Tentara Belanda mengeluarkan komunike
yang berisi uraian tentang orang-orang Jepang di Jawa. Dari 8 April sampai 12
Agustus 1946 telah dibinasakan, dilukakan, atau ditawan 61 perwira dan serdadu
Jepang selagi mereka turut ambil bagian dalam aksi-aksi orang-orang Indonesia.
Karena itu, tentara Jepang juga memendam dendam pada Belanda, seperti diketahui
pada mayat perwira Jepang Tsumura kedapatan sebuah buku catatan. Sebelum
ditembak mati, dia membuat catatan: “Besok sejumlah tentara Inggris akan
bergerak di bilangan Bandung Utara, akan tetapi kita akan bikin corned beef
(daging cincang) dari mereka,” tulis Pram.
Getjintjangd
juga terkait dengan tradisi jimat. Kepercayaan terhadap hal-hal supranatural,
demi menyerap kekuatan musuh, melekat di setiap lapisan anggota badan
perjuangan Republik. “Ada rumor mengenai perdagangan organ tubuh. Berdasarkan
laporan Belanda, pemuda-pemudi Cina banyak diculik di Jakarta, dengan cara
dibius menggunakan kloroform ketika mereka sedang naik becak. Para korban ini
dijual dengan harga antara 500 sampai 1.000 gulden kepada para haji. Kemudian
jantung mereka dibagikan kepada para lasykar muda pengikut haji-haji tersebut
untuk dimakan demi menambah kekuatan. Sisa dagingnya kemudian dijual di pasar
Atom di Harmoni, pusat perdagangan barang-barang gelap di Jakarta,” tulis
Cribb.
Akibat aksi
getjintjangd, rakyat Indonesia menjadi sasaran balasan pasukan Sekutu. Batalyon
X, yang kemudian dilebur ke dalam Depot Speciale Troepen (Depot Prajurit
Khusus) pimpinan Raymond “Turk” Westerling, membantai sekitar 40 ribu rakyat
Sulawesi Selatan. Aktivitas Batalyon X seringkali terkesan main-main tapi
brutal. Anggota batalyon mengendarai truk berkeliling kota seraya menyanyikan
lagu-lagu Belanda dan melepaskan tembakan liar. Mereka dengan sukaria memukuli
atau membunuh setiap rakyat Indonesia yang menunjukkan atribut Republik
Indonesia di tempat-tempat umum.
“Banyak
cerita orang Indonesia yang dipaksa menelan lencana bendera Republik yang
mereka sematkan di dada. Kalau lencana itu dari kain, mereka hanya sedikit
menderita dan sekadar dipermalukan. Namun, jika lencana bendera kecil itu
terbuat dari kaleng, maka akan menyebabkan kerusakan saluaran pencernaan,”
tulis Cribb.
Korban-korban
lain dibawa untuk diinterogasi dan tak pernah kelihatan lagi. Tentara
Belanda-Inggris membuat suasana kian mencekam dengan berbagai kasus perampokan
dan pembakaran. Tujuannya: menentang kebebasan kaum nasionalis di jalanan
dengan melakukan teror. Teror dibalas teror. (h)
0 Response to "Cincang Masa Perang"
Posting Komentar