Presiden Jokowi ditengah-tengah warga Papua |
RadarRakyat.Info- Isu terkait petisi rahasia soal referendum Papua Barat yang dikirim ke PBB masif diberitakan sejumlah media Barat. Sementara keterangan itu hanya bersumber dari pernyataan juru bicara Gerakan Pembebasan Papua Barat, Benny Wenda.
Benny mengatakan penandatanganan petisi tersebut merupakan ‘tindakan berbahaya’ bagi warga Papua Barat, dengan 57 orang ditangkap karena mendukung petisi tersebut, dan 54 orang disiksa oleh pasukan keamanan Indonesia selama kampanye itu berlangsung.
Petisi tersebut menuntut pemungutan suara bebas mengenai kemerdekaan Papua Barat serta penunjukkan perwakilan PBB, untuk menyelidiki laporan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Indonesia.
Namun dokumen tersebut diselundupkan ke desa-desa dan ditandatangani oleh 1,8 juta penduduk Papua Barat, atau lebih dari 70 persen penduduk provinsi tersebut.
Sejumlah aktivis berpendapat bahwa warga Papua Barat tak memiliki proses penentuan nasib sendiri yang sah, sejak wilayah mereka masuk ke Indonesia pada tahun 1969.
Sebelumnya, Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, mengatakan bahwa petisi tersebut sangat penting dan masyarakat Papua Barat secara efektif telah memilih untuk menuntut penentuan nasib sendiri.
“Mereka datang dalam jumlah banyak untuk mengungkapkan harapan mereka demi masa depan yang lebih baik,” kata Sogavare dalam pidatonya di Majelis Umum PBB.
Situasi saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat serta manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris.
Pernyataan bernuasa politik beberapa negara di sidang Majelis Umum PBB, mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di Provinsi tersebut yang begitu bersemangat terlibat mengganggu keterlibatan umum dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan.
Hal itu sebgaimana dikatakan oleh utusan khusus Indonesia untuk PBB, Nara Masista Rahmatja. Ia menilai, negara-negara itu sudah menggunakan Majelis Umum PBB untuk mengajukan domestik mereka. Dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari persoalan politik dan persoalan sosial di negara mereka. Negara-negara itu juga menggunakan informasi yang salah dan mengada-ngada.
Sangat kecil kemungkinan bagi negara lain secara resmi mendukung kemerdekaan bangsa Papua Barat, terlepas dari dan untuk kepentingan apapun negara tersebut di Papua Barat. Hal ini karena setiap negara sesuai kode etik internasional harus saling menghargai dan menghormati integritas dan kedaulatan negara lain.
Intervensi negara lain secara diplomatis dilakukan melalui jalur yang legal. Jalur legal adalah bahwa suatu Negara tidak mendukung secara langsung tetapi mendukung penyelesaian konflik suatu wilayah yang kesalahannya melibatkan pihak Internasional, lembaga internasional seperti PBB.
Oleh karena itu, bila suatu negara mau konsen terhadap persoalan Papua Barat maka dia harus menempu jalur yang legal, dimana negara-negara itu sebagai anggota PBB berhak mempersoalkan konflik Papua Barat dengan mempertentangkan atau memaksa PBB mereview proses memasukan Papua Barat kedalam Indonesia yang tidak sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip Hukum dan HAM PBB di Pertemuan tahunan PBB.
Jika ada orang Papua menginginkan referendum harus membubarkan Organisasi PBB dahulu, karena PBB yang beranggotakan kurang lebih 200 negara sudah memutuskan bahwa Papua atau Irian Barat adalah milik NKRI. Masalah Papua itu sudah menjadi bagian integral dari NKRI, jika ada masyarakat Papua yang mimpi dan membawa petisi itu tidak akan bisa.
Ancaman dan bahaya gerakan separatis di Provinsi Papua dan Papua Barat bisa saja mengancam keutuhan NKRI. Ancaman itu bisa datang dari pendiri organisasi separatis Free West Papua, Benny Wenda yang kini tinggal di Oxford, Inggris pasca kabur dari penjara di Papua pada tahun 2002.
Gerakan separatis di Papua sebenarnya tidak akan terjadi lagi, bila mengacu pada pemerintahan Presiden Jokowi yang memiliki tekad yang kuat untuk mensejahterakan rakyat di papua, minimal sejajar dengan provinsi-provinsi lainnya.
Pesatnya pembangunan infrastruktur di Papua oleh pemerintah belakangan ini juga telah membuat satu per satu anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyerahkan diri. Salah seorang diantaranya Yusuf Aninam. Hal itu tidak terlepas dari pendekatan humanis yang dilakukan oleh jajaran TNI. Bahkan ratusan OPM yang selama ini dikenal sebagai militan pendukung Pimpinan TPN-OPM Papua Goliat Tabuni menyatakan diri bergabung dalam NKRI dan ingin turut bersama pemerintah membangun Papua.
Selain itu, pemimpin bangsa yang berasal dari provinsi Papua di antaranya seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise, merupakan pertanda bahwa putra-putri Papua juga bisa mengisi pembangunan dan berperan dalam memajukan NKRI.
Menanggapi adanya informasi petisi rahasia terkait petisi rahasia yang menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat, Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan perlu dicek kembali kebenarannya.
Ia mempertanyakan, apakah pernyataan atau petisi yang kabarnya disampaikan dalam forum PBB tersebut benar adanya. Atau hanya klaim-klaim yang dilakukan pihak-pihak yang memang sering mengganggu kedaulatan RI atas Papua barat.
“Apakah pernyataan atau petisi yang kabarnya disampaikan dalam forum PBB tersebut betul?” katanya.
Untuk saat ini kan media-media Barat membuat berita hanya berdasarkan pernyataan Benny Wenda tanpa bukti-bukti lain. Kita juga mengingatkan negara-negara lain agar menghormati kedaulatan RI dan menolak informasi dari gerakan separatis seperti Benny Wenda.
Selain imbauan bagi negara lain, Meutya juga mengingatkan pemerintah memastikan tidak ada gerakan separatis yang eksis di Indonesia. rk
0 Response to "Tuntut Referendum Papua Barat Harus Bubarkan Organisasi PBB Dulu"
Posting Komentar