Isu Senjata, Panglima TNI Disebut Bermanuver Politik | RADAR RAKYAT -->

Isu Senjata, Panglima TNI Disebut Bermanuver Politik

RadarRakyat.Info- Rekaman pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di sela-sela acara silaturahmi dengan para mantan petinggi TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jumat, 22 September 2017, bocor ke publik. Kata sambutan Panglima TNI dalam rekaman itu memang membicarkan isu yang sangat sensitif.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo

Jenderal Gatot mengawali pernyataannya dengan mengutip data intelijen TNI yang mengungkap ada institusi negara non-militer yang akan membeli lima ribu pucuk senjata. Parahnya, kata Gatot,  mereka mencatut nama Presiden Joko Widodo, seolah atas restu Presiden. Mereka menggunakan cara-cara amoral untuk mendapatkan jabatan.

"Data-data intelijen kami akurat," kata Jenderal Gatot dalam rekaman yang beredar. Panglima berjanji akan memberantas pihak-pihak yang ingin memaksakan kehendaknya.

Tak berapa lama pernyataan Panglima viral di media sosial. Beragam reaksi muncul menanggapi pernyataan Jenderal Gatot Nurmantyo. Ada yang menyayangkan karena tak pas menyampaikan isu sensitif di ruang publik, karena berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat luas.

Ada pula yang mengkritik pernyataan Panglima sebagai manuver politik, dan ada yang meminta Panglima buka-bukaan terkait siapa oknum yang mengatasnamakan Presiden tersebut. Isu lima ribu pucuk senjata yang diucapkan Jenderal Gatot terlanjur menggelinding bak bola panas di ruang publik.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat dikonfirmasi ulang soal pernyataannya itu, tak membantah soal isi rekaman tersebut. Namun, Ia menolak berkomentar lebih lanjut mengenai isu soal lima ribu pucuk senjata.

Panglima TNI Tetap Benarkan Ucapan Pembelian 5.000 Senjata



"Iya benar itu kata-kata saya, benar. 1000 persen benar itu kata-kata saya. Tapi saya tidak pernah press rilis. Maka saya tidak perlu menanggapi itu," kata Gatot saat ditemui di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Minggu 24 September 2017.

Gatot menegaskan, pernyataan itu tak pernah disampaikan secara resmi kepada media melalui pers rilis. Pernyatannya itu hanya disampaikan saat melakukan acara tatap muka dengan para purnawirawan TNI. "Ketika itu bukan press rilis, tidak perlu saya jawab," tegasnya.

Terpisah, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto meluruskan isu pembelian 5.000 senjata oleh salah satu instansi yang saat ini menjadi polemik di tengah masyarakat. Ia menyesalkan isu tersebut seolah dikaitkan bahwa situasi dan kondisi politik dalam negeri dalam keadaan genting.

Wiranto telah mengonfirmasi isu tersebut langsung kepada sejumlah pihak, yakni Panglima TNI, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Polri dan pihak lain yang terkait. Ia membenarkan memang ada pembelian 500 pucuk senjata kepada PT Pindad untuk kebutuhan BIN.

"500 Pucuk senjata buatan Pindad yang diperuntukkan bagi sekolah intelijen BIN. Dan senjata yang dibeli bukan standar TNI, tapi buatan Pindad dan bukan buatan luar negeri," kata Wiranto dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Minggu 24 September 2017.

Mantan Panglima ABRI ini memastikan pembelian senjata oleh Pindad menggunakan anggaran negara (APBN). Sehingga menurut dia, pembelian senjata itu bukan dilakukan oleh institusi lain di luar pengawasan pemerintah.

"Dan dari penjajakan dan penelitian yang kami lakukan maka pembelian senjata dari Pindad yang bukan standar TNI itu memang tidak perlu minta izin ke Mabes TNI, tapi cukup Mabes Polri dan itu sudah dilakukan," kata Wiranto.

Senjata Pindad

Direktur Utama PT Pindad Abraham Mose membenarkan adanya kontrak pembelian 517 pucuk senjata api untuk BIN tahun 2017 ini. Senjata yang dipesan dengan varian senapan serbu SS2 dengan standar non militer. Pelurunya pun bukan peluru amunisi yang biasa digunakan militer.

"Itu sudah kami jual untuk Bea Cukai, Kelautan, dan lain-lain. Jenisnya sama," kata Abraham saat dihubungi VIVA.co.id, Senin, 25 September 2017.

Bila tak ada aral melintang, PT Pindad berencana mendistribusikan ratusan senjata ini ke BIN pada akhir 2017 mendatang. Ia memastikan pembeliaan senjata ini resmi berdasarkan kontrak yang ada dan telah berizin. "Kalau itu dasarnya ada kontrak, dan ada izin Kabaintelkam (Mabes Polri)," ujarnya.

BIN sendiri beralasan membeli ratusan pucuk senjata karena ada kebutuhan untuk pendidikan dan latihan para mahasiswa di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN). "Kami ingin intelijen andal dalam keterampilan senjata, menembak," kata  Direktur Komunikasi dan Informasi BIN, Wawan Hari Purwanto, di tvOne, Senin 25 September 2017.

Menurut Wawan, aparat BIN dalam mencari informasi juga membutuhkan pengamanan diri. Oleh karena itu, mereka harus bisa banyak hal, terlebih bila bertugas di wilayah yang bergejolak atau masuk ke kelompok separatis atau perlawanan lainnya.

"Perlu keberanian, skill, spirit, stamina prima. Dan salah satu skill adalah keterampilan dalam menembak, bongkar pasang, harus tahu rakitan-rakitan senjata," kata Wawan.

Terkait kebutuhan ini, Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengakui DPR pernah mendorong agar BIN menyediakan senjata api sungguhan untuk latihan menembak mahasiswa STIN.

"Masa intel belajarnya pakai replika kayu? Kan enggak lucu. Atau dia kalau mau belajar harus pergi ke lapangan tembak Polisi, itu kan memakan waktu," kata Abdul Kharis di Senayan, Jakarta, Senin 25 September 2017.

Kendati demikian, Kharis menegaskan Komisi I DPR tidak pernah membahas anggaran dengan BIN hingga satuan 3, atau langsung pada dokumen anggaran yang memuat rinci deskripsi program dan alokasi pagu anggaran per program tiap satuan kerja. Menurutnya, penggunaan detil anggaran adalah domain eksekutif, bukan DPR.

"Kita di Komisi I DPR enggak terlibat dalam satuan 3 atau pengadaan senjata. Tolong dicek yang pesan siapa? Kalau untuk STIN seperti kita dorong, bahwa mahasiswa jangan menggunakan replika. Kita enggak bahas apakah beli senjata laras panjang atau pendek, kita enggak bahas," ujar dia.

Mabes Polri pada akhir Mei 2017 lalu, juga pernah mengajukan kebutuhan puluhan ribu senjata jenis pistol kepada PT Pindad. Kebutuhan itu untuk melengkapi anggota yang bertugas di lapangan seperti Polisi Lalu Lintas dan Anggota Sabhara dalam rangka membela diri terkait aksi-aksi teroris di lapangan.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian, menjelaskan kebutuhan itu diperkirakan sekitar 20 ribuan senjata api. Polri telah membuka kerjasama Polri dengan PT Pindad, dan meminta lebih dari 10 ribu senjata api. Namun saat ini, Pindad baru memiliki ketersediaan produksi sekitar 5.000 senjata api tersebut.

"Kami ada budget untuk itu. Dan sekaligus juga untuk mendorong industri senjata dalam negeri," kata Tito. Ia menyebut anggaran pengadaan senjata api ini menggunakan APBN Perubahan 2017.

Alur Pembelian Senjata

Di sisi lain, Polri memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada sejumlah institusi negara yang diizinkan oleh Undang-Undang memiliki senjata api. Tentunya, semua senjata yang dimiliki berstandar non militer dengan kaliber 32/22 atau senjata gas.

Adapun terkait pembelian 517 senjata oleh BIN, Badan Intelijen Keamanan Polri telah memberikan rekomendasi sebagai syarat penyusunan kontrak dengan Pindad. Pengadaan senjata yang dilakukan BIN tahun ini, bukan termasuk senjata api TNI-Polri.

Rekomendasi Polri juga berlaku bagi lembaga lain yang diizinkan UU memiliki senjata api, seperti Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Bea Cukai, Satpol PP, Imigrasi, Lembaga Pemasyarakatan, dan Polisi Hutan.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, menjelaskan sesuai prosedur yang diatur dalam Undang Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951, semua izin senjata api harus melalui rekomendasi Baintelkam Polri.

Nantinya, semua senjata itu akan diserahkan terlebih dahulu oleh produsen kepada Polri untuk dilakukan uji balistik, penomoran dan dokumentasi. Setelah itu, baru diserahkan kepada instansi terkait melalui Polri.

"Memang biasa sudah berjalan dari Ordonansi (Peraturan) Belanda. Tahun 1936, diperbarui tahun 1948, Undang Undang Daruratnya tahun 12 tahun 1951. Dan sampai sekarang, undang-undangnya belum ada lagi. Undang-undang tentang senjata api belum ada lagi," kata Setyo di Mabes Polri, Senin, 25 September 2017.

Sementara untuk pengajuan pembelian senjata api impor, Setyo mengatakan instansi terkait bisa mengajukan kepada Polri dengan melampirkan Surat Izin Impor (SI) dengan menyebutkan negara mana yang dituju pembeliannya. Setelah kontrak pembelian selesai dan senjata langsung diserahkan ke Mabes Polri untuk identifikasi.

"Kita kan ada peralatan forensik balikstik uji coba juga. Setelah identifikasi semua selesai dokumentasi kartu pemegang, kartu senjatanya baru diserahkan ke yang bersangkutan," terang Setyo.

Sedangkan prosedur yang dilakukan instansi sipil jelas berbeda dengan pengadaan senjata oleh TNI. Peraturan Menteri Pertahanan RI Nomor 17 Tahun 2014 menjelaskan betapa rumitnya pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) milik TNI.

User, dalam hal ini tiap-tiap matra angkatan (Darat, Laut, Udara) diminta untuk menentukan spesifikasi jenis alutsista yang akan diadakan sesuai dengan urgensi, kebutuhan dan skala prioritas dengan melihat potensi ancaman terjadi atau kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force-MEF).

Dalam Permenhan itu, TNI tidak diperkenankan membeli senjata sesuka hati, apalagi pesanan pihak tertentu. Rencana pembelian alutsista tiap matra ini kemudian masuk dalam kebutuhan operasi Mabes TNI dan diproses di Kemenhan di bawah kendali Tim Evaluasi Pengadaan (TEP). Selanjutnya diproses kontrak perjanjian dengan melibatkan Kementerian Keuangan.

Belum cukup di situ, peran Komisi I DPR menjadi penting dalam pembahasan anggaran negara yang digunakan untuk pembelian alutsista. Di parlemen, setiap proses transaksi keuangan negara membutuhkan tanda bintang. Tanda bintang di DPR menunjukkan berapa besar urgensi pembelian alutsista TNI.

Manuver Politik

Di luar polemik yang muncul dari isu lima ribu senjata api ini, tak sedikit banyak pihak yang menyebut pernyataan Panglima TNI tidak etis, dan sarat politis. Terlebih, nama Gatot Nurmantyo menjadi salah satu yang santer disebut bakal mengorbit di Pemilu 2019.

Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menyesalkan pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo terkait lima ribu pucuk senjata. Padahal, Panglima bisa berkoordinasi dengan instansi terkait, atau bahkan langsung melaporkan ke Presiden Joko Widodo.

Menurutnya, melemparkan informasi intelijen yang sangat sensitif kepada publik merupakan langkah yang tidak bijak, dan tidak pada tempatnya.

"Sebaiknya dihindari dan ternyata benar kemudian menjadi riuh. Masyarakat menilai ada apa ini," kata dia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 25 September 2017.

Politikus PDIP ini berharap isu ini tidak dipolemikkan lagi karena sudah ada klarifikasi dari Menkopolhukam. Namun, Ia khawatir jika isu ini kemudian menjadikan persepsi laporan intelijen militer seperti tidak akurat. "Padahal TNI adalah organisasi paling solid," ujar Hasanuddin.

Terkait apakah isu ini mengarah kepada politis, Hasanuddin meminta siapapun militer yang berpolitik saat masih berdinas, segera mengundurkan diri. "Saya bahkan mundur sebelum masa saya habis. Tapi kalau saya masih dinas melakukan kampanye itu tidak pas," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.

Direktur Setara Institute, Hendardi meminta Presiden Jokowi agar lebih berhati-hati mengambil sikap atas Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Hal ini buntut dari pernyataan Jenderal Gatot terkait masalah pembelian 5000 senjata oleh institusi non militer di Tanah Air.

"Karena Panglima TNI sedang mencari momentum untuk memperkuat profil politik bagi dirinya," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin, 25 September 2017.

Maka tindakan atas Gatot Nurmantyo haruslah merupakan tindakan normatif biasa-biasa saja, sehingga cara-cara politik yang tidak etis yang sedang diperagakannya secara perlahan menjadi layu sebelum berkembang.

Menurut Hendardi, apa yang disampaikan Gatot terkait informasi intelejen ke ruang publik sudah menayalahi aturan dan kepatutan. "Tugas intelijen adalah hanya mengumpulkan data dan informasi untuk user-usernya, yakni Presiden," katanya.

Sebaliknya, Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, justru menilai pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo harus disikapi serius. Ia mengingatkan TNI adalah lembaga yang bertugas menjaga pertahanan dan kedaulatan bangsa, baik dari ancaman dari dalam maupun luar negeri.

"Apa yang disampaikan panglima tidak boleh dianggap sepele atau enteng. Ada kesungguhan luar biasa. Kontestasi melalui pilkada, pemilu, tidak harus mengikutsertakan senjata-senjata," kata Siti di tvOne, Senin, 25 September 2017.

Siti menegaskan Gatot menyampaikan sesuatu dalam konteks yang serius. Terlebih saat ini bangsa Indonesia akan memasuki tahun politik. Sehingga menurutnya, apa yang disampaikan Panglima tak ada yang salah, karena konsennya adalah situasi keamanan negara.

"Konsen yang serius dari panglima, kita tanggapi serius. Ini era demokrasi, komunikasi terbuka, tidak ada yang bisa ditutupi," ujarnya.

Ia menambahkan, apa yang dikeluhkan Panglima soal pembelian senjata itu bagus diketahui masyarakat agar mereka tahu negara ini dalam keadaan normal atau kurang normal. Baginya, masyarakat punya hak dalam meraih kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan negara.

"Ini menjadi sangat relevan, signifikan, urgen. Tentu institusi negara terkait ini bisa melakukan (antisipasi) secara serius apa yang disampaikan pak panglima. Kalau gagal merespons, ini sia-sia. Kita punya sejarah," tutur dia.

viva.co.id

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Isu Senjata, Panglima TNI Disebut Bermanuver Politik"

Posting Komentar