RadarRakyat.Info-Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengatakan, pemerintah tengah mengkaji teknologi baru untuk meningkatkan produksi garam.
Hal tersebut merupakan sebuah terobosan untuk mengatasi turunnya produksi garam akibat anomali cuaca akhir-akhir ini.
Menurut Unggul, produksi garam di Indonesia bisa ditingkatkan. Caranya lanjut Unggul menjelaskan, air laut secara intensif diputar di wadah pengolahan sebelum dialirkan ke lahan pengeringan.
Jika sebelumnya petani garam menghabiskan waktu 12 hari untuk proses pengeringan air laut, maka bisa diperisingkat jadi 4 hari saja. Cara seperti ini diyakini mampu mengatasi kelangkaan sehingga tak perlu lagi melakukan impor garam.
Oleh karena itu, BPPT akan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi garam dengan proyek percontohan di NTT.
“Kami bisa memproduksi garam lebih efisien, lebih cepat. Lahan selama ini terlalu sempit, petani memasukkan air garam, 14 hari, diuapkan. Kalau hujan, habis. Nach, ada teknologi dengan mengalirkan air garam, berputar-putar untuk meningkatkan konsentrasinya,” jelas Unggul usai rapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Jakarta, Jumat (4/7/17).
Unggul menjabarkan, selama ini petambak garam melakukan produksi dengan cara tradisional tanpa sentuhan teknologi. Alhasil, bahan garam yang dihasilkan cukup kotor sehingga perlu dibersihkan dan lain sebagainya.
Selain menghasilkan garam, teknologi itu juga dapat menghasilkan produk lain. Misalnya air laut yang sudah dipakai, bisa ditampung, bisa dimanfaatkan untuk industri hilir, di antaranya dijadikan bahan baku minuman isotonik. Lahan luas juga bisa ditebar benih untuk makan ikan.
Selain NTT, teknologi itu juga bisa diterapkan di NTB, Sulawesi Selatan, Jeneponto, yang merupakan daerah produksi.
Meski demikian, Unggul mengatakan akan membutuhkan lahan yang lebih luas untuk menampung air laut yang telah diaduk.
Sementara itu, Deputi Bidang Teknologi Agro industri dan Bioteknologi BPPT, Eniyah L Dewi, menjelaskan, bahwa dibutuhkan lahan seluas 400 Hektare untuk dua waduk, dan 300 Hektare untuk evaporasi agar pemanfaatan teknologi bisa optimal. Sedangkan lahan petani garam saat ini sekitar 25.000 Hektare.
Diharapkan dengan alternatif ini, ke depan tidak perlu lagi mengimpor garam. Karena dengan teknologi ini bisa menghasilkan 50.000 ton garam per tahun yang diperlukan untuk industri dan konsumsi.(Bdk)
Hal tersebut merupakan sebuah terobosan untuk mengatasi turunnya produksi garam akibat anomali cuaca akhir-akhir ini.
Menurut Unggul, produksi garam di Indonesia bisa ditingkatkan. Caranya lanjut Unggul menjelaskan, air laut secara intensif diputar di wadah pengolahan sebelum dialirkan ke lahan pengeringan.
Jika sebelumnya petani garam menghabiskan waktu 12 hari untuk proses pengeringan air laut, maka bisa diperisingkat jadi 4 hari saja. Cara seperti ini diyakini mampu mengatasi kelangkaan sehingga tak perlu lagi melakukan impor garam.
Oleh karena itu, BPPT akan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi garam dengan proyek percontohan di NTT.
“Kami bisa memproduksi garam lebih efisien, lebih cepat. Lahan selama ini terlalu sempit, petani memasukkan air garam, 14 hari, diuapkan. Kalau hujan, habis. Nach, ada teknologi dengan mengalirkan air garam, berputar-putar untuk meningkatkan konsentrasinya,” jelas Unggul usai rapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Jakarta, Jumat (4/7/17).
Unggul menjabarkan, selama ini petambak garam melakukan produksi dengan cara tradisional tanpa sentuhan teknologi. Alhasil, bahan garam yang dihasilkan cukup kotor sehingga perlu dibersihkan dan lain sebagainya.
Selain menghasilkan garam, teknologi itu juga dapat menghasilkan produk lain. Misalnya air laut yang sudah dipakai, bisa ditampung, bisa dimanfaatkan untuk industri hilir, di antaranya dijadikan bahan baku minuman isotonik. Lahan luas juga bisa ditebar benih untuk makan ikan.
Selain NTT, teknologi itu juga bisa diterapkan di NTB, Sulawesi Selatan, Jeneponto, yang merupakan daerah produksi.
Meski demikian, Unggul mengatakan akan membutuhkan lahan yang lebih luas untuk menampung air laut yang telah diaduk.
Sementara itu, Deputi Bidang Teknologi Agro industri dan Bioteknologi BPPT, Eniyah L Dewi, menjelaskan, bahwa dibutuhkan lahan seluas 400 Hektare untuk dua waduk, dan 300 Hektare untuk evaporasi agar pemanfaatan teknologi bisa optimal. Sedangkan lahan petani garam saat ini sekitar 25.000 Hektare.
Diharapkan dengan alternatif ini, ke depan tidak perlu lagi mengimpor garam. Karena dengan teknologi ini bisa menghasilkan 50.000 ton garam per tahun yang diperlukan untuk industri dan konsumsi.(Bdk)
0 Response to "Pemerintah Siapkan Teknologi Baru Atasi Kelangkaan dan Impor Garam"
Posting Komentar