RadarRakyat.Info- Mengacu pada ketentuan yang berlaku di UU Ketenagakerjaan 13/ 2003 dan Kepmenakertrans no 232/2003 pemogokan dianggap sah bila memenuhi dua persyaratan, yaitu persyaratan formal dan material.
Dalam kasus di Perusahaan pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, Jakarta International Container Terminal (JICT), Serikat Pekerja JICT telah memenuhi persyaratan formal karena mereka telah melakukan pemberitahuan tujuh hari sebelumnya.
Namun dalam persyaratan material tidak terpenuhi karena tidak ada pelanggaran normatif yang dilanggar pengusaha/perusahaan. Faktanya bonus sudah dibayar sesuai ketentuan di Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Kalau SP JICT menuntut tambahan bonus berarti terjadi perselisihan kepentingan yang seharusnya diselesaikan melalui jalur mediasi dan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) bukan mogok.
Jadi kemungkinan mogok yang mereka lakukan tidak sah. Konsekuensinya bisa dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) apabila mereka tidak mengindahkan panggilan untuk bekerja.
Tindakan seperti mogok kerja yang dilakukan oleh buruh di pelabuhan peti kemas Tanjung Priok tidak menjadi solusi yang efektif dan justru menimbulkan kerugian kedua belah pihak. Sebab, aksi mogok kerja belum tentu mampu menyelesaikan masalah.
Seharusnya para pekerja mengutamakan diskusi untuk mencapai hasil kesepakatan. Karena lewat diskusi dan mediasi akan mengahsilkan pemikiran pemecahan masalah dan mencari jalan keluar yang terbaik.
Langkah mogok kerja yang dilakukan pekerja yang menurut rencana digelar selama sepekan tentu akan berdampak pada kerugian finansial miliaran rupiah. Apalagi Indonesia kini sudah go internasional untuk urusan ekspor-impor.
Dan baru sehari dilakukan, pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, Jakarta International Container Terminal (JICT) yang menangani hampir 70 persen ekspor impor Jabodetabek diduga lumpuh total. Hal itu terjadi akibat 95 persen atau sekitar 650 pekerja melakukan mogok pekerja yang dimulai Kamis, 3 Agustus 2017 pagi kemarin.
Sekjen Serikat Pekerja JICT M Firmansyah mengklaim, mogok kerja dilakukan karena dampak dari Perpanjangan Kontrak JICT yang menurut BPK melanggar aturan. Selain itu, uang sewa ilegal dari perpanjangan kontrak JICT yang telah dibayarkan sejak tahun 2015 telah berdampak terhadap pengurangan hak pekerja sebesar 42 persen.
Menurut Firmasnyah, pendapatan JICT meningkat 4,6 persen pada tahun 2016 dan biaya overhead termasuk bonus tantiem Direksi serta komisaris meningkat 18 persen.
Hal itu kemudian mendorong SP JICT melakukan mogok kerja. Bahkan ia mengklaim bahwa pendapatan tahunan JICT sebesar Rp3,5-4 triliun diduga menjadi incaran investor asing untuk memperpanjang JICT dan melakukan politiasi gaji pekerja.
Namun demikian langkah mogok kerja yang diambil bukan akhir pencapaian solusi, dan akan mengurangi rasa simpati masyarakat atas tindakan terebut. Tambah lagi sulitnya pekerjaan masa sekarang ini tentunya harus menjadi pertimbangan.
Sementara, Direktur Utama PT JICT Gunta Prabawa menjelaskan, untuk menjamin kelancaran proses kegiatan bongkar muat dan arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok, PT JICT telah memiliki rencana darurat (contingency plan). Rencana darurat ini demi menjaga pelayanan kepada pelanggan.
Namun demikian, manajemen dan pekerja harus duduk bersama untuk mencari jalan keluar agar persoalan yang sama tidak terulang. Mengingat aksi sperti ini sudah sering terjadi.
Wakil Direktur Utama JICT, Riza Erivan, mengatakan, padahal semua permasalahan yang muncul bisa diselesaikan dengan baik. Permasalahan hubungan industri yang terjadi antara manajemen dengan SP JICT seharusnya dapat diselesaikan melalui cara-cara yang dewasa. Yakni dengan duduk bersama dan mengedepankan kepentingan yang lebih besar dengan tetap mengacu pada ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
“Kami menyesalkan aksi mogok kerja karena semua hak normatif sesuai Perjanjian Kerja Bersama telah dipenuhi oleh Manajemen JICT,” kata Riza dalam siaran persnya, Kamis (3/8/17).
Menurut dia bukan sebaliknya, melakukan pemaksaan kehendaknya dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Dalam hal ini operasional pelayanan jasa dan arus barang di pelabuhan.
Pihaknya juga menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan pelayanan jasa dan arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok selama aksi industrial mogok kerja berlangsung.(Bdk)
Dalam kasus di Perusahaan pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, Jakarta International Container Terminal (JICT), Serikat Pekerja JICT telah memenuhi persyaratan formal karena mereka telah melakukan pemberitahuan tujuh hari sebelumnya.
Namun dalam persyaratan material tidak terpenuhi karena tidak ada pelanggaran normatif yang dilanggar pengusaha/perusahaan. Faktanya bonus sudah dibayar sesuai ketentuan di Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Kalau SP JICT menuntut tambahan bonus berarti terjadi perselisihan kepentingan yang seharusnya diselesaikan melalui jalur mediasi dan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) bukan mogok.
Jadi kemungkinan mogok yang mereka lakukan tidak sah. Konsekuensinya bisa dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) apabila mereka tidak mengindahkan panggilan untuk bekerja.
Tindakan seperti mogok kerja yang dilakukan oleh buruh di pelabuhan peti kemas Tanjung Priok tidak menjadi solusi yang efektif dan justru menimbulkan kerugian kedua belah pihak. Sebab, aksi mogok kerja belum tentu mampu menyelesaikan masalah.
Seharusnya para pekerja mengutamakan diskusi untuk mencapai hasil kesepakatan. Karena lewat diskusi dan mediasi akan mengahsilkan pemikiran pemecahan masalah dan mencari jalan keluar yang terbaik.
Langkah mogok kerja yang dilakukan pekerja yang menurut rencana digelar selama sepekan tentu akan berdampak pada kerugian finansial miliaran rupiah. Apalagi Indonesia kini sudah go internasional untuk urusan ekspor-impor.
Dan baru sehari dilakukan, pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, Jakarta International Container Terminal (JICT) yang menangani hampir 70 persen ekspor impor Jabodetabek diduga lumpuh total. Hal itu terjadi akibat 95 persen atau sekitar 650 pekerja melakukan mogok pekerja yang dimulai Kamis, 3 Agustus 2017 pagi kemarin.
Sekjen Serikat Pekerja JICT M Firmansyah mengklaim, mogok kerja dilakukan karena dampak dari Perpanjangan Kontrak JICT yang menurut BPK melanggar aturan. Selain itu, uang sewa ilegal dari perpanjangan kontrak JICT yang telah dibayarkan sejak tahun 2015 telah berdampak terhadap pengurangan hak pekerja sebesar 42 persen.
Menurut Firmasnyah, pendapatan JICT meningkat 4,6 persen pada tahun 2016 dan biaya overhead termasuk bonus tantiem Direksi serta komisaris meningkat 18 persen.
Hal itu kemudian mendorong SP JICT melakukan mogok kerja. Bahkan ia mengklaim bahwa pendapatan tahunan JICT sebesar Rp3,5-4 triliun diduga menjadi incaran investor asing untuk memperpanjang JICT dan melakukan politiasi gaji pekerja.
Namun demikian langkah mogok kerja yang diambil bukan akhir pencapaian solusi, dan akan mengurangi rasa simpati masyarakat atas tindakan terebut. Tambah lagi sulitnya pekerjaan masa sekarang ini tentunya harus menjadi pertimbangan.
Sementara, Direktur Utama PT JICT Gunta Prabawa menjelaskan, untuk menjamin kelancaran proses kegiatan bongkar muat dan arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok, PT JICT telah memiliki rencana darurat (contingency plan). Rencana darurat ini demi menjaga pelayanan kepada pelanggan.
Namun demikian, manajemen dan pekerja harus duduk bersama untuk mencari jalan keluar agar persoalan yang sama tidak terulang. Mengingat aksi sperti ini sudah sering terjadi.
Wakil Direktur Utama JICT, Riza Erivan, mengatakan, padahal semua permasalahan yang muncul bisa diselesaikan dengan baik. Permasalahan hubungan industri yang terjadi antara manajemen dengan SP JICT seharusnya dapat diselesaikan melalui cara-cara yang dewasa. Yakni dengan duduk bersama dan mengedepankan kepentingan yang lebih besar dengan tetap mengacu pada ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
“Kami menyesalkan aksi mogok kerja karena semua hak normatif sesuai Perjanjian Kerja Bersama telah dipenuhi oleh Manajemen JICT,” kata Riza dalam siaran persnya, Kamis (3/8/17).
Menurut dia bukan sebaliknya, melakukan pemaksaan kehendaknya dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Dalam hal ini operasional pelayanan jasa dan arus barang di pelabuhan.
Pihaknya juga menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan pelayanan jasa dan arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok selama aksi industrial mogok kerja berlangsung.(Bdk)
0 Response to "Manajemen JICT Ajak Pekerja Duduk Bersama Selesaikan Persoalan bukan Mogok Kerja"
Posting Komentar