RadarRakyat.Info-Kalau ada yang mengatakan bahwa para taipan merupakan unsur garis depan pemerintah Republik Rakyat Cina untuk menjajah negara-negara di kawasan Asia Pasifik, mungkin bisa ditelisik ke beberapa negara yang diyakini merupakan benteng pertahanan sekaligus titik-start ekspansi ke beberapa negara sekitarnya di kawasan Asia.
Melalui penelisikan tim riset Aktual, terungkap ada beberapa
negara yang bisa kita katakana sebagai imperium Cina.
Imperium pertama, tentu saja RRC sebgai tanah air sekaligus
tempat lahir para leluhur. Imperium kedua, Taiwan sebagai basis modal di bidang
ekonomi. Imperium ketiga adalah Singapura sebagai basis atau pusat tempat
mengkoordinasikan seluruh operasi perdagangan Cina di pelbagai kawasan dunia.
Imperium keempat adalah persaudaraan para taipan atau Overseas Chinese sebagai
sarana untuk merajut dan menyatukan solidaritas para Cina rantau, khususnya
yang berkiprah dalam bidang ekonomi dan perdagangan, untuk menguasai
negara-negara di luar Cina. Dan kelima, membangun daerah-daerah kantong atau
daerah-daerah basis di dalam negara-negara di tempat mana para Cina rantai
tersebut bermukim. Seperti China Town atau Pecinan
Apakah dengan berdirinya daerah-daerah kantong Cina pada
sebuah negara tidka berbahaya secara politik dan keamanan? Apa yang terjadi
pada 1740 mungkin bisa jadi semacam pelajaran sejarah yang maha penting. Kala
itu di Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia karena berada dalam
kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, para buruh Pabrik Gula yang berasal dari
Cina, melancarkan pemberontakan terhadap Belanda dipimpin oleh Kapiten Ni Hoe
Kon, dan membunuh 50 orang pasukan kumpeni Belanda. Akibatnya, atas Gubernur
Jenderal Belanda Adrian Valckenier, pasukan Belanda kumpeni Belanda menumpas
sekitar 10 ribu warga Cina yang kemudian
dikenal sebagai peristiwa Angke.
Masih pada 1740 di Era Gold Rush, Kesultanan di Kalimantan
Barat mendatangkan buruh Cina untuk
menggarak tambang emas. Ketika imigran Cina semakin membesar dan Kesultanan
semakin melemah, pada 1777 Gabungan Kongsi Dagang membentuk pemerintahan
sendiri dengan nama Repiublik Lan Fang. Dengan Lou Lan Fak sebagai Presiden Pertama. Namun kemudian ditumpas
oleh pemerintah kolonial Belanda pada
1885. Setelah tertumpas, komunitas Cina yang tersisa melarikan diri ke Kepulauan
Sumatra dan Semenanjung Malaysia.
Dari cerita sekilas tersebut, terlepas yang jadi sasaran
pemberontakan Cina adalah pemerintah kolonial Belanda yang sedang menjajah
bangsa Indonesia, namun fakta ini membuktikan betapa berbahayanya ketika sebuah
negara membolehkan warga Cina membangun daerah-daerah kantong di negeri di mana
para Cina rantau itu bermukim. Karena pada perkembangannya terbukti bisa
menjelma menjadi kekuatan bersenjata, dan bahkan menjadi sebuah kekuatan
politik.
Ironisnya, meskipun pemerintah kolonial Belanda berhasil
menumpas pemberontakan Cina baik di Batavia maupun Kalimatan Barat, namun
Belanda malah secara langsung atau tidak langsung, malah membantu Cina semakin
menancapkan kuku-kuku pengaruhnya di Indonesia.
Pada 1886 misalnya, Belanda menerbitkan apa yang disebut
Wijkenstelsel yang dimuat dalam
Staatsblad van Nederlandisch Indie No 57 tentang Pemusatan Pemukiman orang Cina
(Pecinan) dan Timur Asing seperti Kampung Arab. Cina semakin kuat pengaruhnya
di Indonesia ketika Belanda menerbitkan
Indishe Staatsreregeling 163 tahun 1925 yang mana penduduk Hindia
Belanda dibagi tiga yaitu: Golongan Orang Eropa, Golongan Timur Asing(Arab,
Cina, dan India), dan golongan bumiputera. Jadi orang Cina, Arab dan India
diposisikan lebih tinggi daripada warga asli Indonesia oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Kondisi ini mendorong orang-orang Cina sebagai pedagang dan
pegawai pemerintahan kolonial yang lebih memihak Belanda sebagai penjajah
dibandingkan kepada warga pribumi Indonesia asli. Sehingga seluruh sektor
perekonomian Indonesia dikuasai oleh orang-orang Cina. Bahkan tak sedikit orang
Cina yang dijadikan mata-mata pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi dan
melaporkan aktivitas para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Begitu pula ketika Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus
1945, Gubernur Jenderal van Mook dan Komandan KNIL Jeneral Spoor mengeluarkan perintah resmi pembentukan organisasi lascar rakyat Cina bernama Poa An Tui yang
dipersenatai oleh Belanda, untuk membantu tentara NICA kembali menjajah
Indonesia.
Ketika sudah berhasil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia, Presiden Sukarno mulai mengeluarkan kebijakan keseimbangan untuk
memperkuat dan memajukan usaha kaum pribumi, terutama di era pemerintahan
kabinet Muhammad Natsir antara 1950-1951. Setelah Javansche Bank
dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia yang berfungsi menjadi Bank Sentral dan
Bank Sirkulasi, maka dimulailah langkah-langkah strategis melumpuhkan dominasi
dan monopoli Cina di sektor perekonomian Indonesia.
Menteri Perdagangan yang kala itu dijabat Sumitro
Joyohadikusmo yang kemudian dikenal dengan Program Benteng, yang bertujuan
melindungi dan memajukan pengusaha pribumi. Berkat program Benteng ini, ada
kurang lebih 700 pengusaha primbumi mendapat kredit usaha dari pemerintah.
Namun program ini jadi malah rusak ketika pemerintahan Ali
Sastroamijoyo mengembangkan konsepsi Sumitro ini menjadi sistem ekonomi
Ali-Baba, yaitu sistem kerjasama antara pengusaha pribumi dan pengusaha non-pribumi alias Cina yang bermain
di belakang layer. Inilah benih-benih tumbuhnya sistem di mana pejabat mengatur
pengusaha.
Pada prakteknya, para pengusaha Cina yang lebih berhasil
memperalat para pengusaha pribumi sebagai boneka, untuk mendapatkan kredit dan
fasilitas dari pemerintah. Pihak Cina lah yang lebih memanfaatkan dan
memperoleh keuntungan dari sistem Ali-Baba ini. Sementara pengusaha pribumi
tidak diberi kesempatan memasuki jaringan para pengusaha non pribumi.
Akibatnya, para pengusaha pribumi hanya sekadar memainkan peran sebagai calo.
Alhasil, karena dianggap gagal, maka sistem Ali-Baba inipun
dibubarkan pada April 1957. Langkah yang jaiuh lebih progresif dilakukan oleh
Presiden Sukarno sendiri keteika mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 10 tahun
1959 , yang membatasi ruang gerak para pedagang Cina. Sayangnya, kebijakan yang
bertumpu pada PP No 10/1959 ini tidak sempat membawa dampak berarti, apalagi
ketika Bung Karno lengser dari kekuasaan sejak 1967.
DI era Orde Baru pimpinan Suharto, dominasi Cina malah
menguat lagi, karena Cina menguasai perdagangan, maka seluruh sindikat
perdagangan dikuasai etnis Cina. Sehingga pemerintahan Orde Baru Suharto
terpaksa bekerjasama dengan Cina.
Melalui Liem Soe Liong dan Sofyan Wanandi. Sedemikian rupa pengaruh sindikat
Cina ini, bahkan bisa mempengaruhi arah kebijakan perekonomian Indonesia.
Apalagi ketika Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew,
memprakarsai berdirinya Wolrd Overseas Chinese Conference di Singapura untuk
mengumpulkan dan menggalang para pengusaha Cina perantauan sekitar 800
pengusaha besar Cina Perantauan dari 30 negara, termasuk Indonesia.
Kemudian dilanjutkan dengan Konferensi di Hongkong pada
November 1993 yang dihadiri 1000 pengusaha besar Cina dari seluruh dunia. Dari
Indonesia sendiri, diwakili sekitar 40 konglomerat Cina.
Maka, sampailah pada bagian paling krusial dari kisah ini.
Pada 24 September 1996, Presiden Suharto di Tapos, Bogor, menyelenggarakan
acara Musyawarah Nasional Kerukunan Usahawan Kecil dan Menengah. Hadir dalam acara itu sekitar
150 konglomerat Indonesia asal Cina. Presiden Suharto meminta mereka
tanggungjawab sosial para taipan dengan
cara membantu pengusaha kecil dan menengah demi untuk mengentaskan kemiskinan.
Permintaan dan deskan Suharto ditolak para taipan tersebut.
Liem Soe Liong mengatakan: “Tidak setuju membantu pengusaha kecil atas dasar
belas kasihan. Haruis ada kalkulasi bisnisnya.” Maka sejak saat itu, hubungan
Suharto dan para konglomerat Cina, termasuk Liem Soe Liong yang sejatinya
dibesarkan Suhart, hubungannya semakin merenggang. Hal ini berlangsung terus dan mencapai
puncaknya ketika Suharto lengser dari kekuasaan pada Mei 1998.
Rupanya, Liem Soe Liong yang kemudian membentuk konglomerasi
dengan berkedok di balik berdirinya Yayasan Prasetya Mulya, kemudian semakin
membesar, sehingga pada perkembangannya tidak sekadar sebagai komunitas bisnis
dan ekonomi, melainkan telah menjelma sebagai entitas politik, dan punya
pengaruh politik di sektor-sektor strategis kenegaraan baik di eksekutif maupun
legislatif.
Salah satu comtoh missal, ketika beberapa konglomerat Cina
berhasil merampok uang dari kucuran dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia), yang mana mereka-mereka inilah yang memicu krisis moneter 1997-1998
sehingga perekonomian nasional Indonesia yang sejatinya fondasi ekonominya
sedang rapuh, langsung terterpa hempasan krisis monenter.
Di era reformasi, pengaruh dan dominasi para pengusaha Cina
rantau di Indonesia semakin menguat, bahkan di kawasan Asia Tenggara. Ketika
UUD 1945 dirubah menjadi UUD 2002 atas prakarsa dari Amerika Serikat dan Uni
Eropa, tapi ironisnya yang menangguk untung adalah Cina.
Rupanya sejak dini pemerintah RRC sudah mengantisipasi hal
ini dengan membentuk Overseas Chinese Affairs Office (OCAO) dan Chinese
Overseas Exchange Association. Kedua organ ini merupakan organisasi yang
dibentuk pemerintah Cina untuk
menggalang para taipan Cina rantau di pelbagai kawasan dunia.
Melalui prakarsa dari dua organ inilah, kemudian pada 2007
menyelenggarakan konferensi pertama,
World Federation of Huaqiau Huaren Association. Dalam forum Chinese
Entrepreneurs Gatherings, Presiden Cina Hu Jintao mengatakan bahwa kepada para Cina rantau di
seluruh dunia: bahwa hatinya masih berada di tanah leluhur.
Pada April 2012, Direktur OCAO yang berbasis di Beijing,
Li Yinze, mengatakan di forum Chinese
Chamber of Commeerce di Jakarta:”Agar para pemuda Cina di Indonesia mempelajari
bahasa Han (Hanyu), dengan tujuan agar bisa memperkuat identitas mereka dengan
bangsa Cina di tanah leluhur.
Gerakan para taipan ini semakin sistematis dan terstruktur
ketika pada September 2014 Kementerian Luar Negeri Cina meresmikan Global
Emergency Call Center untuk melundungi
dan melayani warga Cina rantau Bahkan lebih nyata lagi ketika pada
September 2015 Presiden OCAO Qiu Yuanping
dihadapan perhimpunan
Indonesia-Tionghoa mengatakan
“The Ancestral land (of the Chinese) will never forget the major contribution
of the Huaqiao Huaren Overseas. China will always be the strong backer of the
people of Chinese descent overseas.”
Inilah sisi krusial dari sistem politik Indonesia menyusul
lengsernya Presiden Suharto, dan dimulainya
era reformasi sejak pemilu 1999. Kalau dulu pejabat mengatur pengusaha,
sekarang pengusaha mengendalikan pejabat. (akt)
0 Response to "Jejak-Jejak Gurita Cina di Bumi Nusantara, Dulu dan Sekarang"
Posting Komentar