RadarRakyat.Info-Buya Hamka sendiri ketika itu berpidato. Ia memberikan gambaran bagaimana posisi ulama di masyarakat. "Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat." (Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, 1981)
Munas yang
pertama ini telah mempertemukan Ulama-Ulama dari berbagai Ormas Islam seperti
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Ar-Rabithatul Alawiyah, dan
Aljam-iyatul Washliyah. Semuanya bersatu dalam cinta kepada agama dan bangsa.
Munas
berhasil membentuk pengurus Majelis Ulama Indonesia, yang dilantik oleh Menteri
Agama, Mukti Ali. Dewan pimpinannya terdiri dari Ketua Umum, Prof.Dr.Hamka dan
Ketua-Ketua, KH.Abdullah Syafiie, KH. Syukri Ghozali, KH. Habib Muhammad
Al-Habsyi, KH. Hasan Basri, dan H.Soedirman
Munas
diakhiri dengan penandatanganan piagam berdirinya MUI tertanggal 26 Juli 1975.
Secara berurutan 26 Ketua Delegasi Majelis Ulama Daerah Tingkat I membubuhkan
tanda tangannya. Masing-masing dimulai dari Delegasi DKI Jakarta sampai Maluku.
Kemudian disusul oleh wakil-wakil Ormas Islam serta tokoh-tokoh perorangan yang
menghadiri Munas tersebut.
Ormas-ormas
Islam yang menandatangani Piagam tersebut adalah NU (diwakili KH.M.Dachlan),
Muhammadiyah (Ir.H. Basid Wahid), Sarikat Islam (H.M.Syafii Wirakusuma), Perti
(Nurhasan Ibnu Hajar), Al-Wasliyah, Mathla'ul Anwar, Al-Ittihadijah, GUPPI,
PTDI, dan Dewan Masjid.
Tokoh-tokoh
Islam yang membubuhkan tanda tangan ialah Prof.Dr.Hamka, KH. Safari, KH.
Abdullah Syafii, Mr.Kasman Singodimedjo, KH.Hasan Basri, Tgk.H.Abdullah Ujong
Rimba, H. Kudratullah dan lain-lain. Turut pula menandatangani piagam tersebut
dinas-dinas rohani ABRI, Disrohis Angkatan Darat, Disrohis Angkatan Laut,
Disrohis Angkatan Udara, dan Disrohis Polri.
Dalam
pedoman pokok MUI, ada lima fungsi MUI:
Memberi
fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma'ruf nahi munkar dalam usaha
meningkatkan Ketahanan Nasional.
Memperkuat
ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat beragama. dalam
mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Mewakili
umat Islam dalam Badan Konsultasi Antar Umat Beragama.
Penghubung
antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik
antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional.
Majelis
Ulama tidak berpolitik dan tidak bersifat operasionil (Pelita, 28/7/1975).
Dari sejarah
berdirinya MUI ini, kita bisa saksikan bahwa sebetulnya pemerintah
mempercayakan sepenuhnya persoalan agama kepada MUI. Namun dalam perjalanannya,
pemerintah tidak selalu menerima fatwa MUI. Contohnya fatwa haram bagi umat
Islam merayakan natal bersama.
Kala itu,
Menteri Agama, Alamsyah, meminta fatwa tersebut dicabut. Tapi dengan tegas
Hamka menolak dan memilih meletakkan jabatannya. Setalah pemerintah menolak
fatwa itu, apakah MUI kehilangan kepercayaan umat? Faktanya umat tetap
mengikuti fatwa itu. Umat tetap percaya Ulama. Pemerintah lah yang justru tak
laku.
Jadi kalau
pemerintah sekarang membela Ahok dan tidak mengikuti sikap MUI yang
kedudukannya lebih tinggi dari fatwa, mereka memang berharap umat
meninggalkannya.
Sebagai
penutup, sebuah nasihat dari Ketua Umum MUI pertama, Buya Hamka, untuk mereka,
"Kalau ada di antara kita yang bertanya apa sanksinya kalau nasehat dan
fatwa tidak digubris oleh penguasa, tidaklah ada undang-undang manusia yang
akan menuntut pemerintah. Sebab pemerintah itu sendiri adalah pemegang
undang-undang.
Tetapi jika
fatwa itu benar dan jujur, masih juga ditolak, maka pemegang-pemegang kuasa itu
akan dihukum oleh Tuhan sendiri. Kadang-kadang mereka terima kontan di dunia
ini juga. Bertambah mereka tidak percaya akan kekuasaan Tuhan, bertambah mereka
tenggelam ke dalam laknat ilahi." (Panji Masyarakat, 1/8/1975). (kn)
0 Response to "Catatan Sejarah: Bila Fatwa Ulama [MUI] Diabaikan Penguasa"
Posting Komentar