RadarRakyat.Info-Salah satu kasus yang menonjol dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla adalah membanjirnya imigran China ke Indonesia. Paling tidak ada 1,3 juta orang China baru masuk ke Indonesia. Mereka umumnya buruh-buruh kasar dan angkatan kerja yang masih produktif.
Bagi
pemerintah China, mengekspor jutaan tenaga kasar ini suatu keharusan. Saat ini
di China, ada 45 juta tenaga kerja menganggur yang menunggu pekerjaan. Hal itu
karena melambatnya pertumbuhan ekonomi China, sehingga banyak yang di PHK.
Kedua banyak pabrik ditutup karena masuknya era teknologi baru dimana tenaga
“unskill” alias buruh kasar kurang dibutuhkan lagi.
Seiring
dengan kebijakkan politik Luar Negeri era Jokowi ini sangat berporos ke China,
dimana hutang baru mengucur dari China, maka penerimaan buruh-buruh China ini
adalah satu paket dengan pinjaman dari pemerintah China. Contoh yang mencolok
adalah reklamasi pantai di di Kepulauan Seribu. Dari tanaga ahli sampai tukang
pasang batunya harus dari China. Begitu juga pembangunan kereta cepat Bandung-
Jakarta, mayoritas tenaga kerjanya juga dari China.
Membanjirnya buruh dengan jumlah jutaan dari China ini
jelas akan menimbulkan konflik sosial, politik dan budaya. Seperti diketahui,
perekonomian di tanah air kita sangat pincang. Satu persen penduduk menguasai
70% hajat hidup dan sumber daya rakyat. Artinya dari 260 juta penduduk Ada 2,6 juta penduduk yang sangat kaya. Dari
2,6 juta ini 80% nya adalah mata sipit. Atau dua jutaan orang kaya tersebut
adalah non-Muslim. Ini berarti dua juta orang kaya menguasai kehidupan 250
jutaan warga.
Turunan
dalam dunia bisnis dapat dilihat, kalau berjalan di jalan Sudirman, trus
ke menelusuri jalan Thamrin, lihatlah
kiri-kanan dengan gedung-gedung
menjulang tinggi, lalu kita bertanya siapa yang punya? Satu dua ada
milik pemerintah, selebihnya milik konglomerat. Kalau mau ditanya rasnya pasti
dengan mudah sebagian besar bukan pribumi. Jangan dulu kita tanya apa agamanya.
Turunan
berikutnya adalah siapa yang punya
pabrik yang padat modal atau padat karya yang sanggup menampung karyawan sampai
ratusan ribu orang? Turun lagi ke bawah,
siapa yang menguasai bisnis pariwisata dengan hotel, maskapai? Siapa yang
menguasai bisnis properti beserta produk turunannya? begitu juga kalau dilanjutkan pertanyaannya,
siapa yang menguasai bisnis pendidikan
dan kesehatan? Siapa yang memiliki rumah sakit swasta yang kian menjamur?
Begitu juga sekolah swasta yang terang-terangan dengan misi misionaris. Turunan
berikutnya dapat ditelusuri dengan kepemilikkan industry farmasi dengan ribuan
merk obat-obatan. Jawaban ringkasnya
adalah pemilik semua itu adalah bukan PRIBUMI.
Sebagai
perbandingan bagaimana lemahnya pribumi dapat dilihat pada aktifitas organisasi kemasyarakatannya, salah
satunya Muhammadiyah. Muhammadiyah
dikenal dengan organisasi Islam modern yang bergerak dalam bidang pendidikan,
sosial, dan kemasyarakatan. Di usianya yang sudah lebih satu abad, Muhammadiyah saat ini memiliki sekitar 45
rumah sakit dan klinik kesehatan. Dengan kondisi seperti itu, Muhammadiyah baru
berencana memmbangun pabrik obat-obatan untuk kepentingan beberapa rumah sakit
yang dimiliki. Alias tidak punya pabrik obat-obatan. Itu sudah sekelas
Muhammadiyah, belum dihitung organisasi lain.
Karena
kondisi kehidupan ekonomi yang pincang ini, harapan kaum pribumi adalah tetap
terbukanya lapangan pekerjaan untuk menatap hari esok yang labih baik. Sekarang
dengan datangnya buruh-buruh kasar dan
tenaga professional dari China, maka pasti jatah pekerjaan yang ada untuk
pribumi ada disikat oleh pekerja illegal dari China itu. Dus, disini untuk mendapatkan lapangan pekerjaan sulit
untuk tidak terjadi konflik horizontal.
AS Mengusir China
Permasalahan
sekarang dengan ketimpangan yang demikian parah, mengapa Indonesia menjadi
pilihan?
Sterling
Seagrave dalam bukunya, Lords of the Rim (1996)
yang membahas tentang gurita bisnis China Rantau menjelaskan,
sebenarnya sejak abad ke-19 M , Amerika
Serikat sudah menjadi pilihan bagi imigran China. Hanya di Negara Paman Sam itu
mereka menghadapi tantangan berat. Ada tiga tantangan yang dihadapi imigran China di AS dari dula
sampai sekarang.
Pertama,
tantangan budaya. Imigran China yang datang ke Amerika, hanya dalam waktu
singkat mereka sudah kehilangan budaya China. Karena larut dalam budaya bebas Amerika. Para orang tua China jelas
tidak menghendaki perubahan budaya secara drastis ini. Perantau China tetap
ingin mempertahankan tradisi Konghucu pada anak-anak mereka. Diantaranya
menghormati orang tua dan leluhur China. Untuk membedung arus budaya Amerika
yang dahsyat ini, para perantau China membuat kelompok “Pechinan”. Hampir tiap
kota yang ada komunitas China, mereka biasanya membentuk pechinan (China Town).
Kedua,
masalah pajak. Amerika menerapkan peraturan pajak yang sangat ketat. Setiap
warga Amerika dan mereka yang memiliki green card AS wajib membayar pajak ke
Amerika dimanapun mereka bekerja. Baik di dalam maupun di luar Amerika. Sistim
wajib pajak ketat seperti Amerika ini tidak membuat “happy” imigran China.
Pendatang
China ini sangat agresive merambah segala jenis bidang usaha. Mulai dari bisnis illegal seperti
penyeludupan, human traficking, pelacuran, narkoba, perjudian, sampai bisnis
rumah makan, panti pijat dan laundry.
Saegrave (1996) menjelaskan para perantau China ini menyeludupkan
manusia masuk Amerika lalu dari Amerika diseludupkan mobil Cadilac, Roll
Royce dan barang mewah ke China untuk
pejabat dan orang-orang kaya China. Usaha mereka ini mendapat keuntungan
berlipat karena illegal dan tidak terendus pejabat bea cukai. Biasanya polisi lepas
pantai Amerika sengaja membiarkan penyeludupan itu berjalan untuk beberapa
waktu, setelah itu mereka ditangkap, barangnya disita, ditambah membayar pajak
yang berat.
Ketiga,
sikap brutal Amerika. Gaya koboy dalam film-film Amerika betul-betul mereka
terapkan terhadap imigran China. Dengan
tantangan budaya dan undang-undang perpajakkan yang ketat, imigran China masuk
AS tetap tinggi. Akibatnya lapangan
pekerjaan warga kulit putih terancam. Banyak warga kulit putih yang menganggur.
Menariknya adalah penyelesaian yang dilakukan. Seperti dikenal dengan Yellow
Peril, warga Amerika mengusir China untuk kembali ke negerinya. Caranya adalah
dengan menimbulkan kerusuhan, gerombolan masyarakat datang, lalu orang-orang China dibakar hidup-hidup di api
unggun, ditembaki seperti menembaki babi yang sudah endemik, hartanya dirampas.
Ketika
resesi melanda pantai barat pada 1880-an, lapangan kerja menyempit, di San
Francisco dan Seattle, pengusaha kulit putih mengambil pekerja China
karena upah murah. Akibatnya gerombolan
kulit putih membantai orang China secara sadis. Ribuan orang China lari pulang
ke Asia. Lebih separoh orang China
meninggalkan Amerika. Data penduduk
China pada 1890 ada 107.488 warga China yang tinggal di San Francisco. Tiga
puluh tahun kemudian yaitu 1920, jumlah warga China hanya 61.639 orang.
Artinya
lebih separoh warga China hengkang dari Amerika. Perlakuan masyarakat AS yang kasar dan sadis
ini dibenarkan oleh pemerintah AS. Buktinya perlakuan sadis terhadap China itu
diperkuat oleh undang-undang yang bersifat rasis dan disahkan oleh Kongres
1882. Dalam UU itu menegaskan tentang pelarangan masuk semua orang China ke
Amerika, kecuali guru, mahasiswa, pedagang, dan wisatawan.
Sekarang
dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS yang mulai menempati Gedung
putih pada 20 Januari 2017 ini imigran China makin takut masuk AS. Seperti
diketahui dalam tema kampanye Trump adalah anti terhadap imigran. Maka
salah-salah Trump juga akan menggunakan cara-cara koboy untuk mengusir
pendatang haram ke AS. Itulah mengapa Asia Tenggara tetap menjadi pilihan utama
para pendatang illegal China. Mereka
tetap bisa ber “Gong Xi Fa Chai”, leluasa berbinis hitam, aparat mudah disuap
dan bebas dari incaran pajak. Bahkan tokoh-tokoh agamanya sangat menghormati
orang China.
Wallahu
a’lam.
Tabrani
Syabirin (sic)
0 Response to ""Amerika Mengusir China""
Posting Komentar