RadarRakyat.Info-Sebelum Pilpres 2014, ada fenomena menarik yang menyelimuti iklim politik di Indonesia.
Dimana
bangsa Indonesia seolah terhipnotis oleh propaganda busuk para antek komunis,
yang menggiring opini publik dan tokoh politik melalui sebuah skenario besar
untuk menguasai negeri ini.
Kriminalisasi
menjadi senjata ampuh guna melekatkan stigma negatif terhadap para tokoh
nasionalis dan Tokoh-tokoh Muslim yg aktif dalam kancah politik.
Opini publik
digiring menggunakan corong media menuju apatisme terhadap terhadap elit
politik kita, seolah-olah semua politikus di negeri ini tidak ada yg bisa
dipercaya. Seakan-akan semua tokoh di negeri ini doyan korupsi.
Mereka juga
membuat jargon-jargon yg menganggap bahwa korupsi adalah satu-satunya perbuatan
keji di negeri ini, seraya memaksa masyarakat untuk melegitimasi terjadinya
penjualan aset negara kepada kekuatan asing.
Hasilnya
cukup fantastis, akibat penggiringan opini tersebut pada perhelatan Pilpres
2014 hanya muncul 2 pasang capres-cawapres.
Para elit
politik tak berani mencalonkan diri ke ajang Pilpres 2014 akibat pembunuhan
karakter yang dilakukan kepada tokoh politik dan tokoh Muslim di negeri ini,
alhasil dari ratusan juta penduduk Indonesia hanya 2 orang tokoh yg berani maju
ke ajang Pilpres 2014.
Ini adalah
sebuah pengkerdilan opini, pembodohan publik yg menjadi jurus pamungkas kaum
komunis.
Degradasi
mental akhirnya melanda seluruh lapisan masyarakat, publik dipaksa agar hanya
mempercayai figur-figur yg dekat dengan penguasa, meskipun figur-figur tersebut
merupakan figur impor dari negara lain.
Rakyat
tengah disuguhi sandiwara busuk penguasa yg membuka kesempatan bagi orang-orang
asing beserta keturunannya untuk bisa menguasai jabatan strategis di negeri
ini, mulai dari BUMN, Kepala Dinas, Kepala Daerah, bahkan kalau bisa Kepala
Negara pun dipegang oleh non-pribumi.
Para Komunis
menyebar propaganda yg mengatakan bahwa semua tokoh pribumi diluar kekuasaan
dianggap tak layak menjadi pemimpin di negara ini lantaran dicurigai berpotensi
melakukan korupsi, padahal justru lingkaran kekuasaan yg tunduk pada
kepentingan asing itulah yg lebih berpotensi melakukan praktek korupsi.
Hal ini
tentu sangat berbahaya bagi pembangunan demokrasi di negara kita, dimana
demokrasi yg sehat adalah demokrasi yg memberi kesempatan serta peluang bagi
semua anak bangsa pribumi untuk bisa mengembangkan diri dalam panggung politik.
Ketika
situasi politik semakin tidak menentu, dimana tokoh-tokoh pribumi kehilangan
rasa percaya diri akibat stigma buruk dan ancaman kriminalisasi, SBY tampil
dengan mengorbitkan AHY sebagai calon gubernur untuk DKI.
SBY
merangkul parpol berhaluan Islam untuk mendukung pencalonan AHY. Alhasil PKB,
PPP dan PAN sepakat untuk mengusung AHY terjun ke ajang Pilgub DKI.
Langkah SBY
bukan semata-mata untuk membangun dinasti kekuasaan, tapi juga menumbuhkan
semangat baru bagi seluruh masyarakat pribumi Indonesia untuk tampil mengisi
panggung politik di Indonesia.
Manuver SBY
berisi pesan kepada seluruh generasi muda pribumi muslim bahwa sesungguhnya
kaum pribumi memiliki banyak figur-figur muda yg bersih, cerdas, jujur,
berkompeten serta amanah. Sehingga tak perlu mengimpor figur pemimpin.
SBY juga
telah menyadarkan kita akan pentingnya regenerasi kepemimpinan, dimana kita
pribumi pancasilais sebagai tuan rumah lebih berhak untuk menentukan arah
pembangunan negeri ini, bukan justru jadi budak para etnis pendatang yg
berhaluan komunis.
Meskipun
selalu difitnah oleh penguasa, meskipun harus mengorbankan waktu tenaga dan
biaya yg cukup besar, SBY beserta
koalisi Cikeas telah memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat pribumi
muslim Indonesia agar tetap tegar berjuang demi menjaga kehormatan Agama,
Bangsa dan Negara.
Terimakasih
SBY…
Terimakasih
AHY…
Kami Ummat
Muslim dan barisan kaum pribumi akan meneruskan tongkat estafet perjuangan ini…
Salam hormat
kami, Ummat Muslim Indonesia…
0 Response to "Catatan : Terima Kasih Cikeas"
Posting Komentar