RadarRakyat.Info-Terlalu riskan bila Ahok dipilih kembali. Ahok terlalu gaduh. Dia dihujani batu. Dukungan sejuta KTP ternyata fiktif dan tidak membuktikan apa pun. Survei-survei sarat rekayasa. Manipulatif. Bila para taipan dan pencari nasi bungkus memaksakan diri, Jakarta bisa dilanda instabilitas di berbagai sektor. Paling cocok, Ahok diposisikan sebagai Kepala PU atau penjaga kebersihan kota.
Resistensi
warga sulit padam. Arogansi dan kasar rupanya adalah karakter Ahok. Inherent
dan ingrained dalam struktur genetiknya. Belum pernah ada seorang gubernur,
kecuali Ahok, yang punya musuh satu republik.
Setiap hari
ada saja yang diserang Ahok. Ya politisi, parpol sebesar PDI-P diultimatum,
warga miskin dicaci-maki. Historian dikatain goblok. TNI dibuat tersinggung di
masalah sampah Bantar Gebang. Pengusaha hotel dipermalukan di depan publik.
Ahok diam saja sewaktu mantan bosnya, Bang Yos dibully Ahoker. Lembaga negara
dicemooh dengan istilah ngaco. Ahok terlalu sering mengabaikan aturan; serapan
anggaran rendah. Cuma Ahok yang sanggup usir wartawan dan membiarkan Ahmadiyah
beribadah di Bukit Duri. Sampai penggusuran Pasar Ikan, LBH Jakarta merilis
laporan Ahok menggusur 8.145 KK dan memberangus 6.283 unit usaha di 113 titik
penggusuran.
Kesuksesan
kerja Ahok hanya ada di dunia fantasi. Faktanya, Pertumbuhan Ekonomi turun
0,16%. Inflasi naik 0,95%. Gini Rasio meningkat 7,20%. Penduduk Miskin bertambah
3,72%. Akuntabilitas Kinerja Provinsi hanya 58,57 (hanya urutan 18 dari 34
Provinsi). Realisasi Pendapatan Daerah cuma 66,8% (urutan buncit dari semua
provinsi). Penyerapan Anggaran hanya 59,32 % (terburuk se-Indonesia).
Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM): hanya 0,31 (nomor 1 dari bawah
dari 34 provinsi se-Indonesia).
Hebatnya,
Ahok bisa lolos dari berbagai skandal korupsi; Pengadaan Bus Trans Jakarta,
Pengadaan UPS, Pembelian Tanah Sumber Waras, Tukar Guling Lahan Taman BMW,
Sindikasi Reklamasi Pulau dan pembelian lahan Cengkareng Barat.
Kedatangan
Ahok ditolak di berbagai tempat; Koja, Kalideres, Kapuk Muara dan Penjaringan.
Ketua RT/RW se-Jakarta menyatakan “Bukan Teman Ahok”. Saya sulit membayangkan
efektifitas kerja seorang kepala daerah bila kedatangannya ditolak warga.
Bahkan untuk acara sederhana seperti peresmian taman, Ahok harus lari tunggang
langgang. Polres mesti kerahkan 500 personil, belum lagi pengerahan prajurit
TNI dan Satpol PP. Plus bonus korban timpukan batu dan dua pelajar PSKD
ditangkap. Ahok sungguh high cost.
Economically,
Ahok juga high cost. Relawan Andreas bilang Podomoro alirkan dana 30 milyar
kepada Teman Ahok untuk ngepul sejuta KTP. Belum lagi donasi teri dari ‘warga
kena tipu’ yang sumbang jam dinding, printer, cetak kaos, ball poin dan
sebagainya. Teman Ahok bikin booth di banyak mall. Saya kira itu ada biayanya.
Pasti ada budget bayar tim Cyrus Network, beli slot acara di MetroTV, bayar
media, bayar upah buzzer dan pembully. At the end, Ahok memilih jalur partai
politik. Jadi, seluruh “perjuangan” relawan-bayaran dan donatur menguap begitu
saja.
Politically,
Ahok ngga kalah high-costly. Dia hendak mendelegitimasi partai politik. Tanpa
partai politik, tidak ada demokrasi. Semua politisi, kecuali Ahok dan teman-temannya,
adalah politisi busuk, pencari panggung dan koruptor. Pengumpulan KTP dan
booth-booth (yang kerap dicaci maki pengunjung mall) merupakan bentuk dari
kampanye terselubung dan “ilegal”. In another parlance, Ahok mencuri start.
Manuver
“kutu loncat” Ahok bukan ciri pejuang politik. Di situ, Ahok jadi figur tanpa
loyalitas. Statemen blak-blakan seperti “Tuhan aja gua lawan” cuma bikin Ahok
tampak gak mutu. Dia tegas bilang ibunya pun bakal dia usir kalo bikin susah.
Bahkan Malin Kundang tidak berpikir mengusir mamanya sendiri.
Socially,
Ahok menjadi akar ketegangan rasial dan primordialisme. Sentimen anti Tionghoa
naik. Ahok memicu over-confident golongan minoritas (etnis dan agama) untuk
ngebully dan mencaci maki opponent. Berbeda dengan kader partai, Ahoker
bersifat liar tak terkendali. Tak seperti kader partai, para free men Ahoker
ini tidak pernah mengikuti rangkaian LDK, kurpol atau diklat terstruktur dan
sistematis. Gerakan dan opini mereka sepenuhnya didasari sentimen like &
dislike.
Seluruh
faktor di atas menjadikan Ahok berpotensi menciptakan konflik horisontal dan
vertikal. Kondisi semacam ini sangat tidak kondusif bagi bisnis. Secara
praktis, Ahok bikin Jakarta lebih macet dan rentan banjir. Kegiatan ekonomi
mikro jadi terganggu. Produktifitas salesmen menurun. Entah berapa banyak
agenda meeting harus direscheduling akibat pembangunan enam jalan tol dan
betonisasi bantaran sungai. Para taipan hendaknya berpikir ulang untuk
membacking Ahok. He’s too costly.
*Zeng Wei
Jian adalah aktivis Tionghoa yang kritis dan komit menyuarakan ketidakadilan
dan penindasan (*mc) (G)
0 Response to "Catatan : HIGH COST BILA AHOK TERPILIH by:Zeng Wei Jian"
Posting Komentar