“Selamat datang jendral pembunuh!” Kalimat pendek ini dikatakan seorang korban Tragedi Tanjung Priok tahun 1994, Yusron, di pintu masuk kantor Komnas HAM Jakarta. Saat itu dia bersama puluhan korban lainnya tengah menunggu kedatangan mantan Panglima TNI Benny Moerdani yang akan diperiksa Tim Pencari Fakta Kasus Tanjung Priok yang diimpin mendiang Burhanuddin Lopa.
Yusron yang berada persis di depan intu mengucapkan kalimat yan ditujukan kepada Benny dengan lantang. Benny tampak kaget. Yusron cuek. Keduanya saling berpandangan dan matanya berserobok. Tapi kemudian Benny menunduk dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Dia pun segera masuk dengan langkah yang terpincang. Saat itu jendral yang paling ditakuti di masa Orde Baru memang telah mengalami sakit. Melihat Benny masuk Yusron pun membiarkannya.
“Gila saya masih degdegan bertemu dia,’’ katanya. Yusron memang ingin sekali bertemu dengan Benny dan meletupkan kata hatinya. Tragedi Tanjung Priok terasa lestari di dalam dirinya. Apalagi, meski sudah berselang 14 tahun, ternyata pada saat itu masih ada beberapa peluru yang saat masih bersarang di badannya.
Jadi apa bla Ysron merasa mengalami trauma dan rasa sakit hati yang dalam, maka dapat dibayangkan perasaan apa yang dialami oleh salah satu yang dituduh rezim Orde Baru sebagai salah satu aktor penting dari peristwa pembunuhan massal di kawasan Tanjung Priok itu. Dan orang itu adalah sosok yang pada hari ini, Rabu (14/12), telah dipanggil pulang oleh Allah Swt: Andi Mapettahang Fatwa (AM Fatwa, lahir di Bone 12 Februari 1939).
Mantan rekannya sesama aktivis gerakan Islam sekaligus anggota DPR, Lukman Hakiem, mengataka sosok AM Fatwa memang adalah salah satu tokoh yang paling berani melawan represi rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto di dekade 1980-an. Akibatnya, tak hanya dikenai aksi presekusi, siksaan fisik, hingga terungku penjara selama lebih dari 10 tahun dia harus jalanai.
“Terkait kasus Tanjung Priok dialah orang yang menjadi penggagas adanya ‘Lembaran Putih’ yang isinya adalah pemerintah harus segera membuat tim pencari fakta kasus tragedi pembunuhan Tanjung Priok yang menewaskan puluhan orang itu. Bayangkan itu. Fatwa berani melakukannya ini dengan terbuka dan ini berati dia melawan secara langsung rezim Suharto dan tentara serta intelejen yang kala itu dikomandoo Benny Moerdani. Saat itu tak ada orang yang seberani Fatwa!,’’ kata Lukman.
Tak ayal lagi Fatwa hidup dalam kejaran dan bayangan tindak kekerasan. Meski dia adalah mantan iman tentara (Fatwa adalah anak buah Ali Sadikan di Angkata Laut) geraknya diawasi ketat. Ceramah dan khutbahnya di blokir. Tak cukup denan itu rumahnya yang ada di bilangin Karet Sention, Jakarta Pusat, dirusak. Fatwa pun diancam pembunuhan dan bahkan sudah hampir dilakukan.
Aneka tindak kekerasan yang menimpa kepadanya di zaman Orde Baru itu , skeitar dua tahun silam dibenarkan oleh Fatwa di suatu perbincangan panjang di suatu pagi pada sebuah lobi sebuah hotel di Malang.
‘’Saya sempat akan dibunuh oleh seorang tak dikenal di sebuah ruas jalan di dekat Monas. Tapi usaha itu gagal karena saya berhasil menghindar dari sabetan sangkur. Namun, pisau sangkur meleset. Celakanya menggores muka saya. Nah, kalau anda lihat sekarang seperti tak ada bekas di muka saya, itu karena hasil operasi plastik. Padahal lukanya menggores panjang,’’ kata Fatwa sembari melalui ujung jarinya menunjukan bekas goresan luka yang menyilang di wajahnya.
0 Response to "AM Fatwa, Represi Asas Tunggal Pancasila, dan Tragedi Tanjung Priok"
Posting Komentar