RadarRakyat.Info-Umat Katolik menilai bahwa Pancasila harus dikembalikan lagi sebagai falsafah hidup bangsa untuk saling menjaga, memupuk, dan menumbuhkan Pancasila. Karena para pendiri bangsa ini telah mewariskan Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia sebagai dasar negara yang multikultur.
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) melihat pertentangan antara nilai mayoritas dan minoritas, antara Muslim dan non-Muslim, intoleransi, radikalisme, pendukung dan menolak Pancasila tidak hanya memunculkan keprihatinan dan kekhawatiran.
Harus diakui juga, ini merupakan berkah (blessing in disguise) bagi bangsa, negara dan Tanah Air Indonesia. Karena hal ini mengingatkan kembali atas Perjanjian Luhur bangsa Indonesia yang harus selalu dipelihara dan dijaga.
Sekarang, bangsa ini seolah dibangunkan, dan disadarkan kembali dengan adanya ancaman disintegrasi yang amat serius yang dihadapi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lewat sebuah Konferensi Nasional Umat Katolik Indonesia yang digelar Sabtu (12/8/17) kemarin dengan tema “Revitalisasi Pancasila” ini menurut Ketua Panitia Muliawan Margadana mengatakan, ancaman disintegrasi itu, kata dia, meletakkan bangsa, negara serta Kemerdekaan Indonesia pada masa depan yang kabur dan bahkan tidak jelas.
Berbagai fenomena politik yang muncul, secara tidak langsung juga mempertanyakan kembali hakikat Konsensus Dasar Nasional yakni Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Harus diakui, kondisi Nasional saat ini membantu bangsa Indonesia dan para pemimpinnya untuk terbuka matanya, melihat secara lebar dan bangun setelah tidur panjang karena dininabobokan oleh semangat reformasi. Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke digugah, dibangunkan dan disadarkan adanya ancaman disintegrasi yang amat serius yang dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” katanya dalam siaran persnya.
Indikasi di atas lanjut Muliawan sekaligus menjelaskan bagaimana pendidikan di Indonesia direncanakan dan berjalan selama ini, bagaimana partai politik di Indonesia menyiapkan para kadernya, bagaimana proses pembentukan pemimpin daerah dan pemimpin nasional, demokrasi dan politik Indonesia berjalan, serta bagaimana seharusnya peran para pemuka agama.
Sementara generasi demi generasi Indonesia yang hidup di berbagai pulau, provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, desa, dusun, hanyalah pewaris dan penerus apa yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa (founding fathers).
Bahwa ada gerakan yang ingin merobohkan negara Indonesia dengan cara menghancurkan Pancasila mengindikasikan hilangnya jati diri bangsa dari generasi-generasi Indonesia.
Oleh karenanya, upaya merawat nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini tidak boleh di nomerduakan dan harus senantiasa dilakukan secara sistematis oleh Pemerintah dan semua komponen masyarakat dengan tanpa mengenal lelah.
Hidup berdampingan antara minoritas dan mayoritas sejatinya terjalin erat dan indah dalam membangun masa depan bangsa ini yang berdaulat tanpa ada lagi meributkan hal-hal yang tidak relevan demi persatuan dan kesatuan bangsa.(Bdk)
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) melihat pertentangan antara nilai mayoritas dan minoritas, antara Muslim dan non-Muslim, intoleransi, radikalisme, pendukung dan menolak Pancasila tidak hanya memunculkan keprihatinan dan kekhawatiran.
Harus diakui juga, ini merupakan berkah (blessing in disguise) bagi bangsa, negara dan Tanah Air Indonesia. Karena hal ini mengingatkan kembali atas Perjanjian Luhur bangsa Indonesia yang harus selalu dipelihara dan dijaga.
Sekarang, bangsa ini seolah dibangunkan, dan disadarkan kembali dengan adanya ancaman disintegrasi yang amat serius yang dihadapi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lewat sebuah Konferensi Nasional Umat Katolik Indonesia yang digelar Sabtu (12/8/17) kemarin dengan tema “Revitalisasi Pancasila” ini menurut Ketua Panitia Muliawan Margadana mengatakan, ancaman disintegrasi itu, kata dia, meletakkan bangsa, negara serta Kemerdekaan Indonesia pada masa depan yang kabur dan bahkan tidak jelas.
Berbagai fenomena politik yang muncul, secara tidak langsung juga mempertanyakan kembali hakikat Konsensus Dasar Nasional yakni Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Harus diakui, kondisi Nasional saat ini membantu bangsa Indonesia dan para pemimpinnya untuk terbuka matanya, melihat secara lebar dan bangun setelah tidur panjang karena dininabobokan oleh semangat reformasi. Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke digugah, dibangunkan dan disadarkan adanya ancaman disintegrasi yang amat serius yang dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” katanya dalam siaran persnya.
Indikasi di atas lanjut Muliawan sekaligus menjelaskan bagaimana pendidikan di Indonesia direncanakan dan berjalan selama ini, bagaimana partai politik di Indonesia menyiapkan para kadernya, bagaimana proses pembentukan pemimpin daerah dan pemimpin nasional, demokrasi dan politik Indonesia berjalan, serta bagaimana seharusnya peran para pemuka agama.
Sementara generasi demi generasi Indonesia yang hidup di berbagai pulau, provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, desa, dusun, hanyalah pewaris dan penerus apa yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa (founding fathers).
Bahwa ada gerakan yang ingin merobohkan negara Indonesia dengan cara menghancurkan Pancasila mengindikasikan hilangnya jati diri bangsa dari generasi-generasi Indonesia.
Oleh karenanya, upaya merawat nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini tidak boleh di nomerduakan dan harus senantiasa dilakukan secara sistematis oleh Pemerintah dan semua komponen masyarakat dengan tanpa mengenal lelah.
Hidup berdampingan antara minoritas dan mayoritas sejatinya terjalin erat dan indah dalam membangun masa depan bangsa ini yang berdaulat tanpa ada lagi meributkan hal-hal yang tidak relevan demi persatuan dan kesatuan bangsa.(Bdk)
0 Response to "KWI Serukan Kembali Revitalisasi Pancasila"
Posting Komentar