Sejumlah bocah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit kecil di Kota
Maaret al-Noman, menyusul dugaan serangan gas beracun di Khan Sheikhun,
kota yang dikuasai kelompok pemberontak di Provinsi Idlib, Suriah barat
laut, Selasa (4/4/2017). Sedikitnya 72 orang tewas, termasuk 20
anak-anak akibat serangan senjata kimia tersebut.
RadarRakyat.Info-Tembakan 60 rudal tomahawk dari kapal perang Amerika Serikat di Laut Mediterania ke pangkalan militer Suriah, Jumat (7/4/2017) dini hari, seakan kembali menyadarkan kita bahwa perdamaian masih sulit diwujudkan di Suriah.
Tembakan yang menarget pangkalan militer Suriah di Al Syairat, tak jauh dari Homs, untuk merespons serangan dengan senjata kimia oleh pasukan Suriah terhadap warga sipil di Idlib.
Serangan dengan senjata kimia yang diduga dilakukan militer Suriah atas dukungan Rusia telah menewaskan sedikitnya 86 orang, Selasa (4/4/2017).
Sedangkan tembakan rudal tomahawk AS selain menghancurkan pangkalan militer, juga menewaskan empat orang di dalamnya.
Itu adalah perkembangan terbaru dari perang saudara yang telah berlangsung selama enam tahun di Suriah, yang mendorong lima juta warganya melarikan diri keluar negeri.
Konflik Suriah dimulai dengan aksi protes damai menuntuk lengsernya Presiden Bashar al-Assad pada Maret 2011.
Namun, tindakan keras aparat keamanan terhadap massa yang melakukan aksi damai justru membangkitkan perlawanan bersenjata. Kini, senjata dilawan dengan senjata terus terjadi.
Organisasi Pemantau HAM Suriah (SOHR) melaporkan, lebih dari 320.000 orang telah tewas akibat perang saudara yang kini memasuki awal tahun ketujuh.
Pemberontakan dan represi
15 Maret 2011. Terjadi aksi protes besar-besaran, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, melanda Suriah.
Saat itu massa menuntut kebebasan sipil dan pembebasan tahanan politik setelah 40 tahun berada di bawah kekuasaan represif oleh keluarga Assad.
Rezim Assad melakukan tindakan represi terhadap demonstrasi di Damaskus dan Dara'a dengan alasan untuk menghadang “pemberontakan bersenjata oleh kelompok Salafi".
Namun, tindakan represi aparat keamanan Assad justru membangkitkan kekuatan-kekuatan baru di seluruh negeri, sehingga aksi protes terus berlanjut dengan skala lebih besar dan luas.
Pada Juli 2011, tentara Suriah yang membelot, yakni Kolonel Riyadh al-Assad, membentuk kekuatan perlawanan berbasis Turki dengan nama Tentara Pembebasan Suriah (FSA).
Banyak kelompok Islamis bergabung untuk melakukan pemberontakan terhadap Assad.
Serangan udara
1 Maret 2012. Pasukan rezim Assad merebut distrik Baba Amr setelah 27 hari dikuasai oposisi Suriah. Distrik tersebut berada di kota Homs, kota besar ketiga di Suriah. Perebutan distrik tersebut dilakukan dengan dukungan serangan udara besar-besaran.
17 Juli 2012. Pasukan petempur FSA melakukan serangan melawan pasukan loyalis Assad di Damaskus, dan pasukan pemerintah dapat mengalahnya FSA.
Para sekutu bergabung
April 2013. Kelompok Hezbollah yang didukung Iran mengatakan, pihaknya sedang bertempur bersama pasukan pemerintah melawan “pemberontak” (sebutan awal untuk kelompok oposisi).
Iran pun meningkatkan dukungan militernya kepada Hezbollah, sekutu Assad tersebut.
Senjata kimia
21 Augus 2013. Washington, pendukung oposisi moderat, menuding rezim Assad telah membunuh lebih dari 1.400 orang dengan senjata kimia di distrik yang dikuasai oposisi di Damaskus.
Sebulan kemudian, September, Amerika Serikat dan Rusia, sekutu Assad, setuju dengan rencana untuk menekan penggunaan senjata kimia.
Presiden Barack Obama ketika itu bersumpah untuk bertindak jika Suriah menyeberangi "garis merah" dengan menggunakan senjata kimia.
Kegagalan Obama menekan Suriah dari penggunaan senjata kimia pun membuat Perancis dan Arab Saudi kecewa.
Mulai tahun 2013, kaum jihadis garis keras, termasuk sayap Al Qaeda di Suriah yakni Front Al-Nusra, memperluas area pengaruhnya di Suriah utara dengan merekrut pemberontak atau oposisi moderat.
Pada 2014, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) merebut sebagian besar wilayah Suriah dan memproklamirkan pemerintahan gaya khalifah yang mengendalikan sebagian Irak dan Suriah.
Serangan udara koalisi AS
Pada September 2014, Obama bersumpah untuk membangun koalisi internasional untuk mengalahkan ISIS.
AS pun melakukan serangan udara pertama ke Suriah menjelang akhir bulan itu.
Serangan itu menguntungkan kelompok Kurdi, yang pada tahun 2013 mendeklarasikan pemerintahan otonomi yang luas di daerah dengan mayoriotas penduduknya beretnis Kurdi.
Pada Januari 2015, pejuang Kurdi yang didukung oleh koalisi AS berhasil mendesak ISIS dari daerah konflik Kobane, dekat perbatasan dengan Turki.
30 September 2015. Rusia melancarkan serangan udara untuk pertama kalinya demi mendukung Assad. Moskwa mengatakan, mereka menarget “kelompok-kelompok teroris”.
Rezim Suriah, yang didukung Rusia, sejak Maret 2015 berangsur mulai merebut kembali wilayahnya dari ISIS.
Intervensi Turki
24 Agustus 2016. Turki melancarkan serangan lintas batas ke Suriah dengan sandi operasi bernama Operasi Penyelamatan Eufrat untuk memerangi baik ISIS maupun pasukan Kurdi yang didukung AS.
Rezim rebut lagi Aleppo
22 September 2016. Militer Suriah mengumumkan serangan besar untuk merebut kembali daerah yang dikuasasi oposisi di Aleppo.
Kota terbesar kedua setelah Damaskus, yang terletak di Suriah utara itu, terbelah antara wilayah yang dikuasai pemerintah dan oposisi sejak 2012.
22 Desember 2016. Militer Suriah mengumumkan bahwa mereka telah menguasai penuh kota Aleppo yang disertai dengan penarikan pasukan oposisi dari kota itu.
Gencatan senjata dan perundingan
29 Desember 2016. Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengumumnkan gencatan senjata di seluruh Suriah.
Putin juga mengatakan, pihak-pihak yang berperang akan bertemu dalam perundingan yang didukung Rusia, Turki, dan Iran
Tekanan terhadap ISIS
Pada awal November 2016, aliansi Kurdi-Arab yang didukung AS menyerang Raqa, jantung kekhalifahan ISIS di Suriah.
Ankara menentang gagasan itu, khawatir akan menguntungkan Kurdi di Suriah, yang bisa-bisa saja menjadi kekuatan baru untuk melawan Turki.
Pada Selasa, 4 April 2017, terjadi serangan senjata kimia yang menewaskan sedikitnya 86 orang – merevisi angka kematian sebelumnya 72 orang – di Idlib yang dikuasai oposisi.
Pemerintah Barat menuduh Assad menggunakan senjata yang terlarang itu. Damaskus dan Moskwa menyangkal tudingan itu.
Tiga hari kemudian, Jumat (7/4/2017) dini hari, kapal induk AS di Laut Mediterania menembakkan 60 rudal tomahawk-nya ke pangkalan udara rezim Assad di dekat Homs, Suriah tengah.
Di manakah perdamaian? Apakah yang dilakukan koalisi AS dan koalisi Rusia benar-benar hendak menuju pengakhiran perang atau terciptanya perdamaian abadai di Suriah?(kompas)
Tembakan yang menarget pangkalan militer Suriah di Al Syairat, tak jauh dari Homs, untuk merespons serangan dengan senjata kimia oleh pasukan Suriah terhadap warga sipil di Idlib.
Serangan dengan senjata kimia yang diduga dilakukan militer Suriah atas dukungan Rusia telah menewaskan sedikitnya 86 orang, Selasa (4/4/2017).
Sedangkan tembakan rudal tomahawk AS selain menghancurkan pangkalan militer, juga menewaskan empat orang di dalamnya.
Itu adalah perkembangan terbaru dari perang saudara yang telah berlangsung selama enam tahun di Suriah, yang mendorong lima juta warganya melarikan diri keluar negeri.
Konflik Suriah dimulai dengan aksi protes damai menuntuk lengsernya Presiden Bashar al-Assad pada Maret 2011.
Namun, tindakan keras aparat keamanan terhadap massa yang melakukan aksi damai justru membangkitkan perlawanan bersenjata. Kini, senjata dilawan dengan senjata terus terjadi.
Organisasi Pemantau HAM Suriah (SOHR) melaporkan, lebih dari 320.000 orang telah tewas akibat perang saudara yang kini memasuki awal tahun ketujuh.
Pemberontakan dan represi
15 Maret 2011. Terjadi aksi protes besar-besaran, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, melanda Suriah.
Saat itu massa menuntut kebebasan sipil dan pembebasan tahanan politik setelah 40 tahun berada di bawah kekuasaan represif oleh keluarga Assad.
Rezim Assad melakukan tindakan represi terhadap demonstrasi di Damaskus dan Dara'a dengan alasan untuk menghadang “pemberontakan bersenjata oleh kelompok Salafi".
Namun, tindakan represi aparat keamanan Assad justru membangkitkan kekuatan-kekuatan baru di seluruh negeri, sehingga aksi protes terus berlanjut dengan skala lebih besar dan luas.
Pada Juli 2011, tentara Suriah yang membelot, yakni Kolonel Riyadh al-Assad, membentuk kekuatan perlawanan berbasis Turki dengan nama Tentara Pembebasan Suriah (FSA).
Banyak kelompok Islamis bergabung untuk melakukan pemberontakan terhadap Assad.
Serangan udara
1 Maret 2012. Pasukan rezim Assad merebut distrik Baba Amr setelah 27 hari dikuasai oposisi Suriah. Distrik tersebut berada di kota Homs, kota besar ketiga di Suriah. Perebutan distrik tersebut dilakukan dengan dukungan serangan udara besar-besaran.
17 Juli 2012. Pasukan petempur FSA melakukan serangan melawan pasukan loyalis Assad di Damaskus, dan pasukan pemerintah dapat mengalahnya FSA.
Para sekutu bergabung
April 2013. Kelompok Hezbollah yang didukung Iran mengatakan, pihaknya sedang bertempur bersama pasukan pemerintah melawan “pemberontak” (sebutan awal untuk kelompok oposisi).
Iran pun meningkatkan dukungan militernya kepada Hezbollah, sekutu Assad tersebut.
Senjata kimia
21 Augus 2013. Washington, pendukung oposisi moderat, menuding rezim Assad telah membunuh lebih dari 1.400 orang dengan senjata kimia di distrik yang dikuasai oposisi di Damaskus.
Sebulan kemudian, September, Amerika Serikat dan Rusia, sekutu Assad, setuju dengan rencana untuk menekan penggunaan senjata kimia.
Presiden Barack Obama ketika itu bersumpah untuk bertindak jika Suriah menyeberangi "garis merah" dengan menggunakan senjata kimia.
Kegagalan Obama menekan Suriah dari penggunaan senjata kimia pun membuat Perancis dan Arab Saudi kecewa.
Mulai tahun 2013, kaum jihadis garis keras, termasuk sayap Al Qaeda di Suriah yakni Front Al-Nusra, memperluas area pengaruhnya di Suriah utara dengan merekrut pemberontak atau oposisi moderat.
Pada 2014, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) merebut sebagian besar wilayah Suriah dan memproklamirkan pemerintahan gaya khalifah yang mengendalikan sebagian Irak dan Suriah.
Serangan udara koalisi AS
Pada September 2014, Obama bersumpah untuk membangun koalisi internasional untuk mengalahkan ISIS.
AS pun melakukan serangan udara pertama ke Suriah menjelang akhir bulan itu.
Serangan itu menguntungkan kelompok Kurdi, yang pada tahun 2013 mendeklarasikan pemerintahan otonomi yang luas di daerah dengan mayoriotas penduduknya beretnis Kurdi.
Pada Januari 2015, pejuang Kurdi yang didukung oleh koalisi AS berhasil mendesak ISIS dari daerah konflik Kobane, dekat perbatasan dengan Turki.
30 September 2015. Rusia melancarkan serangan udara untuk pertama kalinya demi mendukung Assad. Moskwa mengatakan, mereka menarget “kelompok-kelompok teroris”.
Rezim Suriah, yang didukung Rusia, sejak Maret 2015 berangsur mulai merebut kembali wilayahnya dari ISIS.
Intervensi Turki
24 Agustus 2016. Turki melancarkan serangan lintas batas ke Suriah dengan sandi operasi bernama Operasi Penyelamatan Eufrat untuk memerangi baik ISIS maupun pasukan Kurdi yang didukung AS.
Rezim rebut lagi Aleppo
22 September 2016. Militer Suriah mengumumkan serangan besar untuk merebut kembali daerah yang dikuasasi oposisi di Aleppo.
Kota terbesar kedua setelah Damaskus, yang terletak di Suriah utara itu, terbelah antara wilayah yang dikuasai pemerintah dan oposisi sejak 2012.
22 Desember 2016. Militer Suriah mengumumkan bahwa mereka telah menguasai penuh kota Aleppo yang disertai dengan penarikan pasukan oposisi dari kota itu.
Gencatan senjata dan perundingan
29 Desember 2016. Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengumumnkan gencatan senjata di seluruh Suriah.
Putin juga mengatakan, pihak-pihak yang berperang akan bertemu dalam perundingan yang didukung Rusia, Turki, dan Iran
Tekanan terhadap ISIS
Pada awal November 2016, aliansi Kurdi-Arab yang didukung AS menyerang Raqa, jantung kekhalifahan ISIS di Suriah.
Ankara menentang gagasan itu, khawatir akan menguntungkan Kurdi di Suriah, yang bisa-bisa saja menjadi kekuatan baru untuk melawan Turki.
Pada Selasa, 4 April 2017, terjadi serangan senjata kimia yang menewaskan sedikitnya 86 orang – merevisi angka kematian sebelumnya 72 orang – di Idlib yang dikuasai oposisi.
Pemerintah Barat menuduh Assad menggunakan senjata yang terlarang itu. Damaskus dan Moskwa menyangkal tudingan itu.
Tiga hari kemudian, Jumat (7/4/2017) dini hari, kapal induk AS di Laut Mediterania menembakkan 60 rudal tomahawk-nya ke pangkalan udara rezim Assad di dekat Homs, Suriah tengah.
Di manakah perdamaian? Apakah yang dilakukan koalisi AS dan koalisi Rusia benar-benar hendak menuju pengakhiran perang atau terciptanya perdamaian abadai di Suriah?(kompas)
0 Response to "Enam Tahun Perang Suriah, dari Aksi Damai Hingga Tembakan 60 Rudal AS"
Posting Komentar