RadarRakyat.Info-DALAM wawancara pada 1969, yang ditayangkan dalam acara "Altijd Wat" (Ada Saja) di televisi NCRV pada 14 Agustus 2012 pukul 21.10 waktu Belanda, Kapten Raymond Westerling mengakui tanpa ragu bertanggungjawab atas pembunuhan 3.500 –buku-buku sejarah di Indonesia menyebut sampai 40.000– rakyat Sulawesi Selatan dalam operasinya pada 1946-1947.
“Saya bertanggungjawab
dan bukannya prajurit yang ada di bawah saya. Perbuatan itu adalah tindakan
saya pribadi. Jumlah persisnya korban bisa dibaca pada laporan patroliku,” kata
Westerling.
“Saya
bertanggungjawab pada perbuatan saya, tapi orang harus dapat membedakan antara
kejahatan perang dengan langkah tegas, konsekuen dan adil dalam keadaan yang
sangat sulit,” Westerling menambahkan, “sadisme yang tersembunyi dalam diri
orang lebih cepet mekar dalam keadaan perang ketimbang dalam situasi normal.”
Wawancara
itu dilangsungkan tidak lama setelah Joop Hueting lewat harian De Volkskrant
dan acara “Achter het Nieuws” di televisi VARA, membuka kejahatan perang di
Hindia Belanda. Berita itu mengejutkan dan membuat banyak veteran marah.
Sehingga, wartawan acara “Achter het Nieuws” sampai dikawal polisi karena
diancam.
“Bersama
juru kamera Hans van der Busken, wartawan Joep Buttinghausen tahun 1969
berhasil mewawancarai Westerling. Itulah penampilan Westerling pertama di
televisi, tapi sayangnya tidak ada satu lembaga penyiaran Belanda yang berani
menyiarkannya. Juru kamera tersebut selalu menyimpan film itu,” tulis Joss
Wibisono, mengutip berita “Kapitein Westerling geeft in tv-interview wandaden op
Zuid-Celebes toe,” di Volkskrant, 14 Agustus 2012.
Enampuluh
enam tahun lalu, para pejuang di Sulawesi Selatan semakin giat mengganggu
Belanda yang mengambil-alih keadaan setelah tentara Australia menyelesaikan
tugasnya melucuti tentara Jepang pada Juli 1946. Panglima Teritorial Tentara
Belanda untuk Borneo en de Groote Oost, Kolonel HJ de Vries menulis surat
kepada Letnan Gubernur Jenderal Van Mook dan Letnan Jenderal Simon Spoor
sebagai Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, untuk meminta bantuan.
Kemudian dikirimlah Kapten Raymond Westerling sebagai komandan Depot Pasukan
Khusus (Depot Speciale Troepen, DST), yang tiba di Makassar 5 Desember 1946.
Seminggu kemudian, Jenderal Spoor menyatakan kawasan Sulawesi dalam keadaan
darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg, SOB).
Dalam
Ensiklopedi Umum, AG Pringgodigdo menceritakan proses “pembersihan secara
tandas” Kapten Westerling: “Berpuluh-puluh desa didatangi satu demi satu
bersama pasukannya yang bersenjata lengkap. Penduduk desa laki-laki, perempuan,
anak-anak tidak terkecuali dikumpulkan di lapangan terbuka di hadapan
pasukannya dalam posisi siap menembak. Ditanyakan dimana gerilyawan-gerilyawan
bersembunyi. Tidak seorang pun menjawab. Beberapa orang dipanggil ke muka.
Pertanyaan diulang. Orang tetap bungkam. Sekejap kemudian peluru telah menembus
benak mereka. Dimaksudkan agar orang-orang selebihnya ketakutan dan suka
berbicara. Tidak pula keluar jawaban atas pertanyaan. Tembakan-tembakan
menyusul yang diarahkan ke tengah-tengah kumpulan manusia yang tidak berdaya
dan tidak berdosa itu. Desa berikutnya mendapat gilirannya. Kebuasan yang sama
dijalankan. Demikian dilakukan selama tiga bulan mulai 11 Desember 1946.
Kira-kira empatpuluh ribu manusia tak berdosa terbunuh karenanya.”
Jenderal
Spoor kemudian memecat Westerling pada November 1948. Namun, pada 23 Januari
1950, Westerling dengan pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) berkekuatan
sekira 523 orang, 300 diantaranya anggota KL (Koninklijk Leger, Tentara
Kerajaan) kembali membuat onar dengan menyerang markas Divisi Siliwangi di
Bandung. Aksi ini menewaskan lebih dari 79 tentara Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) dan banyak juga penduduk yang menjadi korban.
“Gerakan
Kapten Westerling gagal karena tidak mendapat dukungan dari pimpinan tentara
KNIL dan KL yang masih ada di Indonesia. Westerling jadi buronan,” tulis
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 1.
Dengan
bantuan marine Belanda, sambung Rosihan, dia terbang ke lepas pantai Singapura,
dan diturunkan di sana. Dengan perahu karet dia berkayuh ke Singapura. Pada 25
Februari tersiar berita Westerling telah berada di Singapura. Pada 2 Mei 1950
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mendesak pemerintah Inggris di
Singapura untuk menyerahkan Westerling. Tapi, tidak diindahkan karena tidak ada
perjanjian ekstradisi antara Inggris dengan RIS.
“Untuk
menghindari segala sengketa dan kesulitan, pemerintah Inggris mengusir
Westerling,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2. “Westerling
kemudian mengungsi ke Tangier, lalu ke Paris, dan baru pada 1952 muncul di
Nederland (Belanda).”
Pihak
Republik Indonesia menuntut pemerintah Belanda untuk menyerahkan Westerling,
namun Mahkamah Tinggi Belanda menolaknya dengan alasan Westerling adalah
seorang warga negara Belanda. “Ia akan diadili di Belanda atas tuduhan
melarikan diri dari tugas militer, pembunuhan, dan perkosaan,” tulis Slamet
Muljana.
Hans Van
Mierlo, pemimpin Partai Demokrat D66 kemudian jadi Menteri Pertahanan dan
Menteri Luar Negeri, pernah mengusulkan supaya dibentuk pansus parlemen dan
kalau terbukti ada kejahatan perang dalam skala besar, maka pelakunya harus
diadili, seperti yang Belanda tuntut dari Jerman. “Saya bener-benar setujuh
sama Hans Van Mierlo. Kalau benar-benar sudah terjadi kejahatan perang maka
saya adalah orang pertama yang menyambut gembira pansus parlemen,” kata
Westerling dalam wawancara itu, seperti dikutip Joss Wibisono.
“Kalau anda
sendiri harus diadili, anda juga mau?” tanya Joep Buttinghausen. “Tentu saja.
Karena saya selalu berangkat dari pendirian macam itu, kalau kita mau dunia ini
baik, maka harus dimulai dari diri sendiri,” jawab Westerling dengan bijak.
Mengomentari
perkataan Westerling itu, Willem IJzereef, sejarawan yang meneliti Westerling
mengatakan, “Omongan seperti itu kedengarannya wah, kan? Dia berani bicara
seperti itu karena dia tahu bahwa dirinya tidak akan diadili. Pemerintah dan
dewan menteri sudah tidak mau membuka lagi perkara dia. Jelas dia merasa aman,
makanya keluar omongan seperti itu,” kata IJzereef.
Benar saja,
hingga akhir hayatnya 26 November 1987, pemerintah Belanda tidak pernah
mengadili Westerling. “Dari awal pemerintah Belanda sudah membuat perkecualian
untuk perbuatan Westerling,” tegas IJzereef.
Meski
demikian, menurut advokat Liesbeth Zegveld, Westerling yang tanpa ragu mengakui
eksekusi itu sangat penting bagi gugatan ganti rugi para korban Sulawesi
Selatan. “Ini barang bukti utama, jadi sangat menarik secara yuridis,” kata
Liesbeth Zegveld, yang berhasil menggugat pemerintah Belanda untuk membayar
ganti rugi kepada korban pembataian Rawagede, Karawang. (h)
0 Response to "Sejarah : Pengakuan Sang Jagal Westerling"
Posting Komentar