RadarRakyat.Info-
REALITA
mayoritas muslim Indonesia adalah ketika kecil belajar mengaji. Mengaji yang
saya maksud adalah belajar membaca Quran. Bukan mengaji tentang keimanan dan
bagaimana Islam membangun tatanan sosial sehari-hari. Hidup kita sejak kecil
lebih banyak dijejali konsep demokrasi daripada konsep Islam.
Akhirnya
kita kerap menilai segala macam dari perspektif demokrasi bukan perspektif
Islam. Semua ini terjadi karena kita Islam tapi tak kenal Islam. Perbedaan
nyata konsep demokrasi dengan konsep Islam adalah demokrasi bicara suara
mayoritas sedangkan Islam bicara suara kebenaran.
Dalam
demokrasi, apa yang disetujui orang banyak bisa menjadi keputusan dan sikap
yang dianut. Jika mayoritas setuju makan babi, maka pesta babilah yang terjadi.
Berbeda dengan konsep Islam, walau mayoritas suka babi, bagi Islam babi tetap
haram dan terlarang untuk dimakan apalagi sampai-sampai melakukan pesta babi.
Itu kenapa babi tetap haram bagi kaum muslim walau di Amerika atau Eropa.
Lalu apakah
Islam menentang demokrasi atau apakah Islam bertolak belakang dengan demokrasi?
Tidak juga. Tapi demokrasi dalam Islam ditempatkan sebagai alat pertimbangan
nomor dua setelah pertimbangan tentang kebenaran sebagai pertimbangan pertama
telah selesai dilakukan.
Contohnya,
makan daging kambing dan makan daging sapi kedua halal dalam Islam jika
dipotong dengan cara-cara yang diajarkan oleh Islam. Masalah mau makan kambing
atau sapi, silahkan putuskan sendiri secara demokratis. Yang tidak benar adalah
jika bertanya secara demokratis makan daging sapi atau makan daging babi?
Syarat pertamanya saja salah.
Tidak benar
Umat Islam boleh makan daging babi. Tidak boleh memilih antara yang halal
dengan haram, pilihlah antara yang halal dan halal juga. Itulah konsep Islam mengedepakan
kebenaran dulu baru membolehkan pilihan, bukan sebaliknya.
Hal yang
sama dengan kepemimpinan masyarakat. Quran dengan jelas dan tegas menyatakan
muslim wajib dipimpin oleh muslim juga. Pemimpin muslim yang dimaksud tentulah
bukan sekedar kalau ditanya agamanya apa lalu jawabnya Islam. Tapi dia harus
seorang muslim yang paham garis besar hukum Islam. Orang yang juga menjalankan
hukum Islam dalam hidup kesehariannya.
Setelah itu
barulah ditanyakan apakah dia punya kecakapan sebagai seorang pemimpin yang
mengurus persoalan dan kebutuhan masyarakat keseharian atau tidak. Jika tidak,
carilah calon pemimpin muslim taat yang lain yang berkualitas, bukan cari
pilihan non-muslim.
Konsep ini
berlaku dimanapun, bahkan di tempat-tempat Umat Islam minoritas. Bedanya adalah
ketika di wilayah minoritas, maka umat diperintahkan untuk berjuang menegakkan
agar umat Islam dipimpin oleh pemimpin Islam. Tentunya dengan cara normatif,
bukan membuat pemberontakan, sepanjang tidak ada aniaya besar atas kaum muslim.
Sedangkan di wilayah yang Umat Islam mayoritas maka umat diperintahkan untuk
menegakkan agar umat dipimpin oleh pemimpin muslim. Tidak ada kompromi di situ
untuk memberi kesempatan kepada pemimpin non-muslim. Kenapa? Tentunya untuk
menjamin umat Islam senantiasa terjaga dalam kehidupan yang Islami.
Kenapa
ngotot harus muslim yang jadi pemimpin? Pertama, karena demikian perintah Allah
dalam Quran. Kedua, Allah menjelaskan bahwa Dia Maha Tahu tentang manusia
karena Dia yang menciptakannya. Ketiga, realitas kehidupan di dunia menunjukkan
bahwa mayoritas wilayah non-muslim (kalau tidak mau mengatakan semua) tidak ada
satupun yang memberi ruang agar umat Islam bisa hidup penuh damai sesuai dengan
hukum Islam. Selalu ada ajaran atau sikap hidup yang dilarang. Yang paling
sederhana adalah jilbab. Jilbab yang tidak mengganggu siapapun, kerap dilarang
oleh pemimpin non-muslim atau rakyat non-muslim di berbagai negara non-muslim.
Di mayoritas
negara non-muslim, umat Islam kerap dikejar atau dipandang dengan sorot mata tajam
ketika berada di ruang publik. Berbeda dengan di Indonesia yang sejarahnya
lebih didominasi pemimpin muslim. Umat non-muslim bisa beraktivitas sesuka hati
tanpa sorot mata apapun. Bahkan di tengah-tengah kerumunan Aksi Bela Islam,
keturunan China atau Umat Kristen bisa melenggang berjalan tertawa lebar dan
berfoto-foto. Ini kenikmatan hidup bertoleransi yang luar biasa bukan?
Jadi
demikianlah Islam menuntun kita mengenai kepemimpinan. Calon pemimpin itu wajib
muslim, wajib menjalankan kemuslimannya dan kompeten pada bidangnya. Dengan
pemimpin seorang muslim, maka para umat muslim yang dipimpinnya menjadi saleh
kehidupannya karena telah menjalankan perintah Allah tentang bagaimana memilih
kepemimpinan.
Dengan dia
seorang pemimpin yang menjalankan kemuslimannya maka dia akan terjaga dari
sikap tidak amanah, terjaga dari ingin korupsi, terjaga dari penyalahgunaan
jabatan, terjaga dari rayuan wanita nakal, serta cenderung terjaga dari
berbagai kekhilafan lainnya. Pada akhirnya tentulah karena dia kompeten, maka
kepemimpinannya diharapkan akan membawa perubahan keadaan sesuai dengan visi,
misi dan program kerjanya.
Sekali lagi
saya tegaskan, pemimpin masyarakat berbeda dengan pemimpin perusahaan, toko
atau tempat makan. Pemimpin masyarakat seperti Lurah, Walikota, Bupati,
Gubernur dan Presiden mengatur seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat.
Tatanan sosial dan hidup keseharian rakyat merekalah yang bertanggungjawab
mengaturnya. Berbeda dengan pemimpin perusahaan yang hanya mengurus soal
bisnis, tidak mengatur kehidupan keseharian semua karyawannya.
Begitulah
Islam menuntun kita dalam urutan memilih pemimpin. Bukanlah Islam abangan atau
Islam sekedar di KTP. Bukan juga kompeten dulu baru Islam atau tidak. Pemimpin
Umat Islam itu wajib Islam, lalu dia juga haruslah seorang yang ber-Islam
dengan taat dan kompeten di bidangnya karena memiliki tugas memimpin perbaikan
kehidupan masyarakat.
Begitulah
berpikir melihat dan memahami ajaran Islam. Jangan pula anda sebagai muslim
ikut-ikut meledek ajaran Islam hanya gara-gara anda tak paham maksudnya atau
gara-gara anda menyontek pemikiran yang salah dari orang yang anda sangka paham
tentang Islam.
Ayo berubah,
jangan tenggelam dalam keganjilan. Jangan yakin Islam sebagai agama, tapi tak
yakin Islam memberi solusi atas kehidupan. Saatnya jadi Umat Islam yang bela
Islam karena paham tentang Islam. [***]
OLEH: TEUKU
GANDAWAN
Penulis
adalah alumni ITB, mantan aktivis mahasiswa, pemerhati politik nasiona (gr)
0 Response to "Jangan Pilih Antara yang Halal dengan Haram, Pilihlah Antara Halal dan Halal Juga"
Posting Komentar