RadarRakyat.Info-Oleh Asyari Usman
(Mantan
Wartawan Senior BBC)
Di satu
pojok kampung yang terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera, ada sebuah
warung kopi yang lumayan besar berbentuk barak. Tiang-tiang warung itu terbuat
dari kayu yang disebut oleh warga setempat jenis “kayu api-api”. Tidak ada satu
pun tiangnya yang lurus. Memang begitulah karakter genetis kayu itu. Atap
warung terbuat dari anyaman daun nipah. Lantainya tanah, tetapi sudah keras
membatu karena bertahun-tahun diinjak oleh pelanggan. Di dalam warung ada dua
meja panjang yang dilengkapi bangku sepanjang kedua meja itu pula.
Cukup banyak
peminat warung kampung ini. Mungkin itu sebabnya pemilik warung menyediakan
tempat duduk yang bisa menampung puluhan orang pada “jam-jam sibuk”.
Warung ini
sangat kontras bedanya dengan “Café Ini” atau “Café Itu” yang Anda jumpai di
mal-mal atau jalan-jalan ternama di perkotaan. Tetapi, di “warung buruk” ini
sering digelar diskusi politik dengan topik-topik yang membuat ngilu tulang
kita.
Di suatu
pagi, di warung itu, berlangsung diskusi yang materinya kelas berat, yaitu
tentang dampak kekuasaan presiden terhadap masyarakat pedesaan, rakyat miskin,
penjual gorengan, para petani manual, nelayan tanpa teknologi, tukang dodos,
penggalas, pedagang minyak botolan, terhadap guru mengaji, bilal mayat, dan
sebagainya.
Pas pada
saat puncak diskusi, tak sengaja saya mampir. Tidak ada “peserta seminar” itu
yang saya kenal. Tetapi, karena dalam suasana tatakrama kampung, ada juga
satu-dua yang mempersilakan saya duduk sambil menawarkan, “Minum apa, bang?”
Suara orang
yang mengajak minum itu kalah tinggi dengan suara salah seorang peserta diskusi
yang tiba-tiba berkata setengah berteriak bahwa, “Di sini, kita tidak perlu
presiden. Tidak perlu.” Dia mengatakan itu kepada warga kampung yang duduk
mendengarkan “key note speech”-nya pagi itu.
Saking
kerasnya suara itu, secara spontan saya menoleh ke sumbernya. Dia seorang pria
yang masih sangat muda usia. Sekitar 25 tahun, dan lumayan rapi untuk ukuran
kampung. Dari posisi duduknya dan dari keseriusan para peserta diskusi lain menujukan
perhatian ke pria muda ini, saya menduga dialah yang menjadi bintang diskusi.
Setelah saya
amati sejenak, memang benar. Dia suka membahas soal politik di warung itu, dan
banyak warga kampung yang gemar mendengarkannya.
Saya coba
mendekat, ikut masuk ke dalam diskusi. Langsung saya sela, “Mengapa tadi kamu
bilang tidak perlu Presiden di sini?
“Untuk apa
Presiden di sini, Bang? Tidak ada artinya Presiden bagi rakyat pedesaan pinggir
laut seperti kami ini.”
“Apa alasan
kamu?”
Anak muda
itu mulai agak kendur sedikit. Tapi, dia memiliki argumentasi yang terasa
faktual juga. Dia mengatakan, kebijakan apa pun yang dibuat oleh pemeritah
pusat, terutama oleh Presiden, tidak ada pengaruhnya bagi kehidupan di pedesaan
miskin. Menurut dia, sejak tahun 70-an sampai sekarang kondisi kehidupan
masyarakat di situ tidak banyak berubah.
Yang
dikatatakan anak muda itu, ada benarnya. Kalau Anda mau menelusuri
kampung-kampung pinggir pantai, desa-desa terpencil, hampir pasti potret
kesulitan hiduplah yang akan terekam di kamera handphone Anda. Lingkungan
kumuh, rumah kumuh, sepeda kumuh, boneka kumuh, anak-anak kumuh, warung kumuh,
kedai kumuh, fasilitas kumuh…, itulah yang akan Anda saksikan di sepanjang
perjalanan.
Anak muda si
bintang diskusi tadi menyebutkan juga, selama ini presiden yang turun-naik
silih berganti, hanya menyenangkan para konglomerat, orang-orang superkaya,
plus kroni-kroni mereka.
Salah satu
yang saya tangkap jelas dari anak muda itu adalah kesimpulan dia bahwa Presiden
dan perangkatnya bukan bekerja untuk rakyat miskin, bukan untuk rakyat yang
buta hukum, bukan untuk rakyat yang sedang dilanda pengangguran, bukan untuk
rakyat yang susah mendapatkan pengobatan, bukan untuk rakyat yang akhirnya
menemui ajal di perjalanan setelah semua rumah sakit menolak karena tidak ada
uang jaminan; dan bukan untuk pemilik warung kecil bertiang bambu, beratap
bocor, yang jualannya adalah kerupuk di toples kumuh, sampo saset yang sudah
berdebu, dan aneka jajanan 500 perak yang digantung di tali plastik.
Anak muda
itu semakin geram. Saya coba lagi menyela ketika dia menguraikan pendapatnya
bahwa presiden di Indonesia ini bukan untuk rakyat kecil.
“Kan
sekarang sudah mulai bagus, Dik…”
“Bang,
mungkin di kampung ini Abang sendirilah yang merasakan presiden ada manfaatnya.
Tapi bagi kami di sini, kami tidak perlu Presiden.”
“Hidup kami,
mati kami, lapar kami, makan kami, sawah kami, sampan kami, menganggur kami,
kumuh kami…, sejak dulu tidak pernah terkait dengan keberadaan Presiden di
istana mewahnya.”
Anak muda
itu semakin berapi-api menjelaskan kesimpulannya tentang tidak adanya peranan
presiden untuk rakyat susah. Sayang sekali saya tidak punya rekamannya, tetapi
saya masih ingat apa-apa yang dia sebutkan.
Dia
berpendapat, kebanyakan menteri kabinet hanya bekerja untuk orang-orang
tertentu saja. Menteri Keuangan bekerja untuk orang yang punya uang; Menteri
Perdagangan bekerja untuk para pedagang besar; Menteri ESDM bekerja untuk para
pengusaha minyak dan tambang; Menteri Kehakiman untuk orang-orang yang bisa
membayar perkara; Menteri Bappenas untuk merancang proyek-proyek rakasasa yang
diberikan kepada kontraktor raksasa; Menteri Agraria untuk para tuan tanah;
Menteri Kesehatan untuk para pemilik RS-RS mewah, dst, dst.
“Bagaimana
dengan Presiden yang berkuasa sekarang?,” saya kembali bertanya.
“Sama saja,
Bang. Tidak ada efeknya. Silakan saja Pak Presiden datag ke sini, lihat kondisi
hidup kami.”
“Kalau ada
dampak positif kebijakan Presiden, tentu kami tidak mungkin berkumpul di sini
setiap hari, berdiskusi sejak jam 9 pagi.”
“Kalau ada
pekerjaan kami, untuk apa kami nongkrong di warung ini, Bang…”
Karena sudah
hampir satu jam, saya permisi meninggalkan warung. Sejak menghidupkan mesin
motor sampai ke tujuan berikutnya, pikiran saya digeluti terus oleh uraian anak
muda yang “memimpin” diskusi kampung itu. Saya teringat tiang-tiang warung yang
tak lurus.
Bagi warga
setempat, uraian anak muda itu mereka rasakan mewakili kondisi nyata kehidupan
mereka. Tetapi, tampaknya, tidak semua penilaian itu akurat. Sebagian ada yang
“bengkok-bengkok” seperti halnya tiang warung buruk tadi.
Hanya saja,
tiang warung yang bengkok itu jelas “berguna” bagi warga di situ setiap kali
mereka kumpul membahas isu politik. Sedangkan Presiden dan para menteri yang
setiap hari disibukkan oleh keppres, perpres, inpres, permen, skepmen, dll,
memang belum terlihat ber-track-record di kalangan rakyat miskin pedesaan.
Wallahu a’lam.
(Isi tulisan
ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC) (tsc)
0 Response to ""Di Sini, Kami Tidak Perlu Presiden!""
Posting Komentar